khalifah utsman bin affan dan khalifah ali bin abi thalib
ahmad amhari 12210015
IAIN Radenfatah
palembang
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Masalah
Setelahnya Nabi Muhammad SAW wafat, proses penggantian kepemimpinan terus
terjadi, dan berbeda-beda dalam pemilihannya. setelah Abu Bakar berakhir
memimpin sebahai khalifah, kemudian digantikan dengan Umar Ibn Khatab. Kedua
pemimpin besar ini telah menancapkan pengaruhnya dengan mengeluarkan berabgai
kebijakan yang sangat strategis demi kemajuan umat Islam, hingga akhirnya
khalifah Umar Ibn Khatab meninggal dunia. Sepeningalnya Umar ibn Khatab proses
pergantian kepemimpinan Negara pun tidak berhenti, maka dilanjutkan dengan para
penerusnya. Mereka ini termasuk dalam golongan khulafaurrasyidun, yakni
khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara pengangkatan Utsman bin Affan menjadi khalifah?
2. Bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib?
3. Bagaimana pemerintahan Utsman bin affan?
4. Permasalahan pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib?
PEMBAHASAN
A. Usman bin Affan
a. Biografi
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin
Abd Al-Manaf dari suku Quraisy. Lahir pada tahun 576M. enam tahun setelah
penyerangan kabah oleh pasukan bergajah atau 6 tahun setelah kelahiran
Rasulullah SAW. Utsman masuk islam pada usia 30 tahun atas ajakan Abu Bakar.
Setelah masuk islam utsman mendapat siksaan dari pamannya yang bernama Hakam
bin Abil Ash. Ustman di juluki dzun nurain, karena menikahi dua putrid
Rasulullah SAW. Secara berurutan setelah yang satunya meninggal yaitu Ruqayyah
dan Ummu Kulsum.
b. Proses Pengankatan khalifah Utsman bin Affan
Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses
pemilihan. Bedanya Umar dipilih langsung sedangkan Utsman diangkat atas
penunjukan tidak langsung, yaitu melalui dewan syura atau formatur yang di
bentuk oleh Umar menjelang wafat. Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang
terdiri dari 6 orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka
untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman
bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abd Ar-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan
Thalhah bin Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah bin Umar dijadikan anggota
tetapi ia hanya memiliki hak pilih dan tidak berhak untuk dipilh.
Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut: pertama, yang
menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara
terbanyak. Kedua, apabila suara imbang yakni 3:3, Abdullah bin Umar yang
berhak menentukannay. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah tidak
diterima, calon yang dipilih Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi
khalifah. Kalau masih ada yang menentang, maka penentang itu hendaklah dibunuh.
Anggota yang hawatir terhadap tatacara pemilihan tersebut adalah Ali.
Karena ia khawatir terhadap Abd Ar-Rahman tidak bias berlaku adil karena antara
Utsman dengan Abd Ar-Rahmanmasih ada hubungan kekerabatan. Akhirnya ali meminta
Abd Ar-Rahman berjanji untuk berperilaku adil, tidak memihak, tidak mengikuti
kemauan sendiri, tidak mengistimewakan keluarga, dan tidak menyulitkan
umat.setelah Abd Ar-Rahman berjanji, ali menyutujuinya.
Kemudian Abd Ar-Rahman meminta pendapat kepada anggota formatur secara
terpisah untuk membicarakan calon yang tepat untuk dijadikan khalifah. Hasilnya
muncul dua kandidat yaitu Utsman dan Ali. Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash
memilih Utsman, sedangkan Thalhah dan Zubair tidak ditanyai pendapat
dandukungannya karena keduanya berada diluar madinah sehingga tidak sempat
dihubungi. Kemudian Abd Ar-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan pembesar
di luar anggota formatur. Ternyata suara masyarakat terpecah menjadi dua yaitu
kubu Bani Hasyim mendukung Ali dan kubu Bani Umayyah mendukung Utsman. Kemudian
Abd Ar-Rahman memanggil Ali dan bertanya, seandainya dia dipilih menjadi
khalifah, sanggupkan melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Quran, sunah Rosul,
dan kebijakan dua khalifah sebelumya? Ali menjawab, dirinya berharap dapat
berbuat sejauh penygetahuan kemampuannya. Abd Ar-Rahman beganti memanggil
Utsmandan menanyakan hal yang sama. Utsman menjawab dengan tegas,” ya! Saya
sanggup.” Berdasarkan jawaban itu, Abd Ar-Rahman menyatakan Utsman sebagai
khalifah ke-3, dan segeralah dilakukan baiat.
Ketika Utsman terpilih menjadi Khalifah usianya 70 tahun. Masa
pemerintahan Utsman bin Affan termasuk yang paling lama, yaitu selama 12 tahun
(24-36H/644-56M). Tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaanya
menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman
pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu 6 tahun pertama merupakan masa
kejayaan pemerintahannya dan 6 tahun terakhir masa pemerintahan yang buruk.
c. Pemerintahan Utsman bin Affan
1. Dari segi politik
Pada masa awal pemerintahanya, Utsman melanjutkan sukses para
pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Kekuasaan Islam
telah mencapai asia dan afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia
Tengah, juga Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian tersisa dari Persia,
dan berhasil menumpas pemberontakan yang dilakukan orang Persia.
Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai oleh Islam seperti Mesir dan
Irak terus dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi
militeryang terancang secara cermat. Di Mesir pasukan muslim diinstruksikan
untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu peristiwa penting disini ialah “Zatis
Sawari” (perang tiang kapal). Perang itu terjadi di Laut Tengah dekat dengan
Iskandariyah, tentara Romawi dibawah pimpinan Kaisar Constantin dan laskar kaum
muslimin dipimpin Abdullah bin Abi Sarah. kenapa dinamakan perang kapal karena
banyak kapal-kapal perangyang digunakan dalam perang tersebut. Terdapat 1.000
buah kapal, dan 200 buah kapal milik kaum muslimin sedangkan sisanya milik
bangsa Romawi. Pasukan islam berhasil mengusir pasukan lawan. Pasukan Islam
bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasan di
Irak, dan dari kota Kufah.
Dari segi ekonomi, yaitu tentang pelaksanaan baitul maal, Ustman hanya
melanjutkan pelaksanaan yang telah dilakukan pada masa sebelumnya, yaitu Abu
Bakar dan Umar. Namun, pada masa Utsman, Ia dianggap telah melakukan korupsi
karena terlalu banyak mengambil uang dari baitul maal untuk diberikan kepada
kerabat-kerabatnya. Padahal, tujuan dari pemberian uang tersebut karena Utsman
ingin menjaga tali silaturahim. Selain itu, disamping dari segi baitul maal,
Utsman juga meningkatkan pertanian. Ia memerintahkan untuk menggunakan
lahan-lahan yang tak terpakai sebagai lahan pertanian.
Dari segi pajak, Utsman, sama seperti dari segi baitul maal, melanjutkan
perpajakan yang telah ada pada masa Umar. Namun sayangnya, pada masa Utsman
pemberlakuan pajak tidak berjalan baik sebagaimana ketika masa Umar. Pada masa
Utsman, demi memperlancar ekonomi dalam hal perdagangan, ia banyak melakukan
perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya.
2. Daru segi budaya atau pembangunan
Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan
wilayah Islam. Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang
mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Selain itu,
adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para sahabat juga
menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Dari segi sosial budaya,
Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Hal ini merupakan sebuah terobosan,
karena sebelumnya peradilan dilakukan di mesjid. Utsman berjasa membangun
bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke
kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid,
dan memperluas masjid Nabi di Mekah. Perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi
sendiri dilakukan karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang
melaksanakan haji setiap tahunnya.
3. Penysunan Mushaf Utsmani
Karya monumental Utsman adalah membukukan mushaf Al-Qur’an. Tujuan
pemushafan ini adalah untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan dalam pembacaan
Al-Qur’an di kalangan umat Islam yang diketahui pada saat ekspedisi militer ke
Armenia dan Azerbaijan, perselisihan muncul dikalangan tentara muslim, di mana
sebagiannya direkrut dari suriah dan sebagian dari Irak.
Setelah wafatnya khalifah Umar, diangkatlah Usman bin Affan menjadi
khalifah ke tiga. Suatu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa di mana pun umat
Islam berada dan ke mana pun mereka pergi, namun al-Qur’an tetap menjadi Iman
dan pedoman hidup yang utama bagi mereka. Akan tetapi pada masa pemerintahan
Usman mulailah tampak gejala-gejala pertikaian antara kaum muslimin mengenai
al-Qur’an, karena:
a) Tidak adanya uniformitas atau keseragaman tentang susunan
surat-surat pada naskah-naskah yang mereka miliki.
b) Tidak adanya uniformitas dalam qiraat atau cara membaca
ayat-ayat al-Qur’an.
c) Tidak adanya uniformitas dalam ejaan tulisan yang mereka pakai
dalam menuliskan ayat-ayat al-Qur’an.
Akan tetapi pada masa khalifah Usman ketidakseragaman qiraat telah
menimbulkan perpecahan dan merasakan perlu untuk ditertibkan. Orang yang
pertama mensinyalir adanya perpecahan adalah sahabat Huzaifah ibnul Yaman.
Kemudian Huzaifah melaporkan kepada Usman segera mengambil langkah-langkah
untuk mentertibkannya. Usul ini diterima oleh Usman dan Beliau mengambil
langkah-langkah antara lain:
1) Meminjam naskah yang telah ditulis oleh Zaid ibnu Tsabit pada
masa Abu Bakar yang disimpan oleh Hafshah binti Umar.
2) Membentuk panitia yang terdiri dari:
Zaid ibnu Tsabit
Abdulloh ibnu Zubair
Sa’id ibnul Ash
Abdurrohman ibnuh Harits ibnul
Hijam
3) Usman memberikan tugas pada panitia untuk menyalin dan menurun
kembali ayat-ayat al-Qur’an dari lembaran-lembaran naskah Abu Bakar sehingga
menjadi mushaf yang lebih sempurna.
4) Usman memberikan patokan-patokan pada panitia dalam melakukan
tugasnya adalah: Dalam menyalin ayat-ayat dari naskah Abu Bakar harus mengecek
dan berpedoman pada hafalan para sahabat.
Ayat harus ditulis dengan memakai ejaan tulisan yang seragam. Apabila
terjadi perselisihan antar anggota panitia tentang bahasa atau bacaan suatu
kata harus ditulis dengan ejaan tulisan yang sesuai dengan lahjah atau dialek
Suku Quraisy. Susunan surat hendaklah diatur menurut cara tertentu berdasarkan
ijtihad dan pedoman yang didapat dari Rosululloh.
Akhirnya seiringnya waktu para panitia berhasil mengumpulkan dan
menghimpun semua al-Qur’an kedalam sebuah mushaf yang dikenal dengan Mushaf
Usmani. Sesuai dengan tujuan awal pengumpulan dan penghimpunan ini untuk
memepersatukan semua umat islam yang sempat terpecah belah karena adanya
perbedaan dalam pembacaan ayat al-Qur’an, maka khalifah Usman memerintahkan
kepada semua gubernurnya untuk menghancurkan semua mushaf yang ada
ditengah-tengah masyrakat dan digantikan dengan Mushaf Usmani.
d. Periode Terakhir Pemerintahan Utsman
Setelah melewati masa-masa gemilang, pada masa paruh terakhir
kekuasaanya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan
di dalam negri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat
khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya. Akan tetapi kekacauan
sudah dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi khalifah.
Utsman adalah orang yang baik dan saleh namun dalam banyak hal kurang
menguntungkan. Karena Utsman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan
orang Mekah, khususnya kaum Quraisy dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan
Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari
keluarga besar Bani Umayyah. Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu
maka satu persatu kedudukan tinggi di duduki oleh anggota keluarganya.
Ketika Utsman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu khalifah yang dituduh
sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi sekertaris
utama, segeralah timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula penempatan
Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing menjadi gubernur
Suriah, Irak dan Mesir, sangat tidak disukai oleh masyarakat umum di tambah
lagi tuduhan-tuduhan bahwa kerabat khalifah mendapat harta pribadi dengan
mengorbankan harta umum dan tanah negara. Hakam, ayah Marwan mendapatkan tanah
Fadah, Marwan sendiri menyalah gunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil
alih tanah Negara Suriah dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk mengambil
seperlima dari harta rampasan perang.
Situasi politik semakin mencekam bahkan berbagai usaha yang bertujuan
baik dan mempunyai alasan yang kuat untuk kemaslahatan umat disalah pahami dan
melahirkan perlawanan dari masyarakat. Pemushafan Al-Qur’an misalnya, yang
dimaksudkan untuk menyelesaikan kesimpangsiuran bacaan Al-Qur’an sehingga
perselisihan mengenai Al-Qur’an dapat dihindari. Tetapi lawan-lawannya Utsman
menuduh bahwa Utsman sama sekali tidak memiliki otoritas untuk menerapkan edisi Al-Qur’an yang di
bukukan itu. Dengan kata lain, mereka mendakwa Utsman secara tidak benar telah
menggunakan kekuasaan agama yang tidak di milikinya.
Terhadap berbagai kecaman tersebut, Utsman telah berupaya untuk membela
diri dan melakukan tindakan politisi sebatas kemampuannya. Tentang pemborosan
uang misalnya, Utsman menepis keras tuduhan keji ini. Memeng benar dia membantu
saudara-saudaranya dari bani Umayyah, tetapi itu diambil dari kekayaan
pribadinya bukan dari kas Negara bahkan Utsman tidak mengambil gajinya yang
menjadi haknya. pada saat menjadi khalifah Utsman jatuh miskin. Karena hartanya
digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya
digunakan untuk mengurusi permasalahan kaum muslimin, sehingga tidak ada waktu
lagi untuk mengumpulkan harta seperti sebelum menjadi khalifah.
Dalam hal ini Utsman berkata: “pada saat pencapaianku menjadi khalifah,
aku adalah pemilik unta dan kambing terbanyak di Arab. Hari ini aku tidak
memiliki unta dan kambing kecuali yang digunakan dalam ibadah haji. Terhadap
penyokong, Aku memberikan kepada mereka apa pun yang dapat aku berikan dari
milikku pribadi. Tentang kekeayaan Negara, aku menganggapnya tidak halal, baik
bagi diriku sendiri maupun bagi orang lain. Aku tidak mengambil apa pun dari
kekayaan Negara, apa yang aku makan adalah hasil nafasku sendiri.
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Di
Kufah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit
menentang gubernur yang di angkat oleh khalifah. Hasutan yang lebih keras
terjadi di mesir, selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah bin Sa’ad,
saudara angkat khalifah, sebagai pengganti gubernur ‘Amr bin Ash juga karena
konflik sosial pembagian ghanimah. Pemberontak berhasil mengusir
gubernur yang diangkat khalifah, mereka yang terdiri dari 600 orang mesir itu
menuju ke madinah. Para pemberontak dari Kufa dan Basrah bertemu dan bergabung
dengan kelompok mesir. Wakil-wakil mereka menuntut khalifah untuk mendengarkan
keluhan mereka. Khalifah menuruti kemauan mereka dengan mengangkat Muhammad bin Abu Bakar menjadi gubernur di
Mesir. Dam merekapun puas terhadap kebijaksanaan khalifah dan mereka ulang kenegri masing-masing. Tetapi ditengah
perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang
menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut
mereka surat tersebut ditulis oleh Marwan bin Hakam, sekertaris khalifah.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan
jalan damai, tetapi mereka tidak dapat menerimanya. Mereka mengepung rumah
khalifah, dan membunuhnya ketika Khalifah Utsman sedang membaca Al-Qur’an, pada
tahun 35 H/17 juni 656 M. menurut Lewis, pusat oposisi sebenarnya adalah di
Madinah sendiri. Di Madinah Thalhah, Zubair dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia
melawan khalifah, dengan memanfaatkan para pemberontak yang dating ke Madinah
untuk melampiaskan rasa dendamnya yang meluap-luap itu.
Menurut Ahmad Al-Usairy dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam, salah
satu faktor yang menyebabkan pemberontakan dan pembangkangan adalah berkobarnya
fitnah besar di tengah kaum muslimin yang di kobarkan oleh Abdullah bin Saba’,
seorang yahudi asal yaman yang berpura-pura masuk islam. Orang ini telah
berkeliling ke berbagai kota kemudian menetap di Mesir. Kemudian dia menaburkan
keraguan di tengah manusia tentang akidah mereka dan mengecam Utsman dan para
gubernurnya. Dia dengan gencar mengajak semua orang untuk menurunkan Utsman dan
para gubernurnya. Dengan gencarnya dia mengajak semua orang untuk menurunkan
Utsman dan menggantinya dengan Ali sebagai usaha menaburkan fitnah dan
perpecahan.
Mulailah pecah fitnah di Kufah pada tahun 34 H/ 654 M. mereka mulai
menuntut kepada khalifah untuk menggati gubernur kufah. Akhirnya Utsman
menggantinya untuk memenuhu tuntutan mereka dan sebagai uapya untuk meredam
fitnahyang lebih besar. Setelah itu ada sejumlah besar manusia yang datang dari
kufah, basrah, dan mesir untuk mendebat khalifah. Ali mencegah mereka dan
menerangkan apa yang mereka lakukan adalah kesalahan besar. Dan khalifah
melakukan pembelaan yang masuk akal. Maka pulanglah mereka dengan tangan hampa.
Abdullah bin Saba’ paham bahwa kesematanya yang telah ia bangun selama
bertahun-tahun akan lenyap begitu saja. Maka ia mencari siasat licik dan
mengatur strategi. Dia membuat surat palsu atas nama khalifah akan mengundurkan
diri dan Ali akan naik. Disebutkan bahwa siapa saja yang tidak setuju akan
dibunuh.
B. Ali bin Abi Thalib
a. Biografi
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib adalah sepupu Rasullah SAW. Ali bin
Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah
Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum
kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW. Rasulullah
mengawinkan Ali dengan putrinya yang bernama Fatimah. Ali adalah salah satu
dari sepuluh orang yang memperoleh jaminan masuk surga dari rasulullah SAW. Ali
ikut dengan Rasulullah SAW sejak bahaya kelaparan mengancam kota mekah, ia
masuk islam pada usia sangat muda. Menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13
tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ali menemani Rasulullah dalam
perjuangan menegakkan islam di mekah dan di madinah. Kerena Ali sibuk merawat
dan memakamkan jenazah Rasulullah SAW ia tidak sempat ikut membaiat Abu Bakar
sebagai Kholifah, tetapi ia membaiat setelah Fatimah wafat.
Ali adalah orang yang pandai memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal
sebagai seorang orator. Ia juga seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga ia
menjadi penasehat pada zaman khalifah Abu bakar, Umar, dan Utsman.
b. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Setelah wafatnya utsman bin Affan
karena di bunuh, stabilitas keamanan kota menjadi rawan. Gafiqy bin harb
memegang keamanan kota kira-kira selama lima hari sampai terpilihnya Khaliah
yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman, menerima baiat dari
sejumlah kaum musim.
Proses pengukuhan Ali menjadi
khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at
di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan,
pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi
khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat
senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar
bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum
pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi
khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar
bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki
agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari
sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa
umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang
lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
c.
Pemerintahan Ali bin
Abi Thalib
Tugas pertama yang dilakukan
oleh khlifah Ali adalah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, yakni menarik
kembali semua tanah dan hibah yang telah di bagikan oleh Utsman kepada kaum
kerabatnya ke dalam kepemilikan Negara. Ali juga segera menurunkan semua
gubernur yang tidak di senangi oleh rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi
penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir,
dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur Mesir yang
dijabat oleh Abdullah. Gubernur Suriah dan Muawiyah juga di menta untuk
meletakkan jabatannya, tetapi ia menolak perintah Ali bahkan tidak mengakui
kekhalifahannya.
Oposisi terhadap Khalifah secara terang-terangan dilakukan oleh Aisyah,
Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alas an pribadi
sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah
segera mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga
diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah untuk
menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan
menuduh Ali sebagai dalang terbunuhnya Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan
dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan Ali. Pertama, karena
tugas pertama yang mendesak dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti
saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kependudukkan kekhalifahan.
Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara yang mudah, khalifah
Utsman tidak dibunuh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari mesir, irak,
dan arab secara langsung terlibat dalam perbuatan tersebut.
1. Perang Jamal (36 H/656 M)
Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam, tidak membaiat Ali sebagai
khalifah. Dia menuntut darah Utsman pada Ali. Sedangkan ali tidak menjadikan
masalah ini sebagai perioritas karena kondisinya yang sangat labil. Oleh
karenanya orang syam taat pada kekhalifahan Ali dan Muawiyah menyatakan
memisahkan diri dari kekhalifahannya. Berangkatlah Ali dengan pasukannya dari
kufa, dia telah memindahkan pemerintahan dari madinah ke kufah.
Pada saat itu juga Aisyah bersama Zubair dan Thalhah serta kaum mulimin
dari mekah juga menuju bashrah untuk menetap di sana. Merka berhasil menguasai
bashrah dan menangkap para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat kebeberapa
wilayah untuk melakukan hal yang sama. Ali pun mengubah rute perjalanannya dari
Syam ke bashrah. Ali mengirimkan beberapa utusan ke pada Aisyah dan menerangkan
dampak negatif dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas dengan apa yang
dikatakan Ali dan mereka kembali ke base pasukan untuk kesepakatan damai.
Kedua belah pihak hamper saja melakukan kesepakatan damai. Namun Abdullah
bin Saba’ dan pengikutnya yana menyimpang mereka ketakutan dan mereka melihat
pertempuran harus terjadi. Kembali mereka berhasil mengobarkan api perang di
antara kedua pasukan Islam. Terjadilah peperangan ini, pertempuran ini terjadi
di depan unta yang membawa tandu Aisyah. Sehingga perang ini di sebut Perang
Jamal (perang unta) yang terjadi pada tahun 36 H. dalam pertempuran ini pasukan
Bashrah kalah. Thalhah dan Zubair
terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah di kembalikan ke
Madinah. Dalam peperangan ini banyak kaum muslimin yang terbunuh. Sebagian
sejarawan menyebutkan ada sekitar 10.000 yang terbunuh. Ada sejarawa yang lain
menyebutkan sebanyak 20.000 kaum mislimin gugur. Maka sejak itu Bashrah masuk
secara penuh dalam pemeritahan ali.
Perang unta ini menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam,
karena peristiwa itu melibatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk
pertama kalinya seorang khalifah turun kemedan perang untuk memimpin langsung
angkatan peranag, dan justru bertikai melawan saudara sesame muslim.
2. Perang Shifin (wilayah sebelah timur syam) 37 H/657 M
Perang ini terjadi antara Ali dan Muawiyah. Delegasi yang diutus antara
Ali dan Muawiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa. sehingga akhirnya kedunya
menempatkan pasukannya di kota tua Shiffin, dekat sunagi eufrat, pada tahun37
H. khalifah ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah.
Sebenarnya pasukan Muawiyah sudah terdesak kalah, dengan 7.000 pasukan
terbunuh. Hampir saja Ali memenangkan peperangan ini.
Pada saat situasi tersebut pasukan syam dan Muawiyah mengangkat
mushaf-mushaf dan meminta agar bertahkim dengan kitab Allah. Siasat ini di
lakukan oleh ‘Amr bin Ash, panglima pasukan Muawiyah, untuk menghentikan
perang. Siasat ini ternyata berhasil dan peperangan segera berhenti. Dari kedua
belah pihak bertemu dan berunding, namun keduanya tidak sampai pada kata
sepakat. Maka, ditulislah lembaran keputusan. Setelah itu kedua pasukan kembali
ke negri masing-masing.
3. Tahkim Shiffin
Konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan di
akhiri dengan tahkim. Dari pihak
khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah
Diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah
dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu
Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan
oleh Abu Musa. Peperangan Siffin yang di akhiri melalui tahkim
(arbitrase), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah
sebagai pengadil. Namun tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa
gubernur yang maker itu mempunyai kedudukan yang sama atau setingkat dengan
khalifah, dan menyebabkan lahir golongan Khawarij, orang-orang yang keluar dari
barisan Ali, yang kira-kira berjumlah 12.000 orang.
4. Perpecahan Umat (Syi’ah, Khawarij, dan Pendukung Muawiyah)
Setelah Ali menerima tahkim dari pihak Muawiyah, namun tahkim ini
tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebakan umat islam terpecah menjadi 3
golongan yaitu: Syi’ah (pengikut Ali), Khawarij (orang-orang yang keluar dari
barisan Ali), dan Muawiyah. Orang Khawarij dulunya adalah pasukan yang berada
pada pihak Ali. Mereka malah melakukan pemberontakan kepada Ali setelah
terjadinya arbiterasi dan mencopotannya dari kekuasaan dengan alasan bawa ia
menerima tahkim.
Sebagai oposisi kekuasaan yang ada, khawarij mengeluarkan beberapa
statemen yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai
orang-orang kafir. Khawarij berpendapat bahwa Utsman bin Affan telah
menyeleweng dari agama islam. Demikian pula dengan Ali bin Abi Thalib juga
telah menyeleweng dari agam islam karena melakukan tahkim. Utsman bin
Affan Ali bin Abi Thalib dalam pandangan khawarij, yaitu murtad dan telah
kafir. Politisi yang lain yang di anggap kafir oleh khawari adalah Muawiyah, Ame
bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan semua orang yang menerima tahkim.
Khawarij tampak tidak berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam
jalur atau wilayah teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagamaan
umat Islam. Khawarij di anggap keluar dari jalur politik karena menilai kafir
terhadap orang-orang yang ikut dan menerima tahkim. Menurut Harun
Nasution, bukan wilayah politik tetapi wilayah kalam atau teologi.
Ali memiliki pendukung yang sangat fanatic dansetia kepadanya. Dengan
adnya oposisi terhadap pemerintahan Ali, kesetiaan mereka malah semakin
bertambah, apalagi setelah Ali bin Abi Thalib wafat. Mereka yang fanatic
terhadap Ali bin Abi Thalaib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah.
Kelompok khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepoykan
khalifah Ali, sehingga member kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat
dan memperluaskan kekuasaannya sampai mampu merebut mesir. Akibatnya sungguh
sangat fatal bagi Ali. Tentara semakin lemah, sementara Muawiyah semakin kuat
dan bertambah besar. Keberhasilan Muawiyah mengambil provinsi mesir, berarti
merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali. Kerena
kekuatan Ali telah banyak menurun, terpaksalah Ali menyetujui perjanjian damai
dengan muawiyah, yang secara politis berate khalifah mengakui keabsahan
kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir.
5. Terbunuhnya Ali
Penyelesaian kompromi Ali dengan Muawiyah tidak disukai oleh kaum
perusuh. Kaum khawarij merencanakan untuk membunuh Ali. Muawiyah dan Amar
memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka, yang bebas dipilih dari
seluruh umat Islam. Karena itu Adurrahman pengikut setia kaum khawarij,
memberikan pukulan yang hebat kepada Ali sewaktu dia akan Adzan di masjid.
Pukulan itu fatal, dan khalifah wafat pada tanggal 17 ramadhan 40 H.
Dalam kisah yang lain, bahwa kematian khalifah Ali diakibatkan oleh
pukulan pedang beracun yang di lakukan oleh Abdurahman bin Muljam, sebagaimana
dijelaskan Philip k. hatty bahwa:
Pada 24 januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid
Kufah, ia terkena hantaman pedang beracum di dahinya. Pedang yang mengenai
otaknya tersebut diayunkan oleh pengikut khawarij, Abd Ar-Rahman bin Muljam,
yang ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya,
yang terbunuh di Nahrawan. Tempat terkecil didekat kufah yang menjadi makam
Ali.
d.
Pengangkatan Hasan
bin Ali bin Abu Thalib dan ‘Aml Jama’ah
Setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, rakyat segera membaiat Hasan bin
Abi Thalib untuk menjadi khalifah sebagai pengganti ayahnya. Tapi ada yang
mengatakan bahwa hasan sebagai anak yang paling tua mengambil alih kedudukan
ayahnya. Dia berkuasa hanya dalam jangka waktu 5-6 bulan. Pada saat
pemerintahannya dia melihat banyak perselisihan di antara sahabat-sahabatnya
dan melihat pentingnya persatuan umat.
Tentara Hasan dikalahkan oleh pasukan Syiria, dan para pendukungnya di
Irak meninggalkannya sehingga tidak dapat lebih lama lagi mempertahankan
kekuasaannya. Kemudian turun tahta. Syarat-syarat yang tercantum dalam
perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah sebagi penguasa yang absolute dalam
wilayah kerajaan Arab. Pada bulan Rabi’uts tsani tahun 41 H (661 M) Muawiyah
memasuki kota Kufah yang oleh Ali dipilih sebagai pusatkekuasaannya. Sumpah
kesetiaan di ucapkan kepadanya di hadapan dua putra Ali, Hasan dan Husain.
Rakyat berkerumun di sekelilingnya sehingga pada tahun 41 H disebut sebagai
tahun ‘amul jama’ah tahun jama’ah. Dalam riwayat yang lain mengatakn
bahwa Hasan melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan pemerintahan kepada
Muawiyah pada bulan Rabingul Awwaltahun 41 H/661 M. tahun ini sering disebut
sebagai ‘Amul Jama’ah (tahun jama’ah) karena umat Islam sepakat menjadikan
satu orang khalifah untuk menjadi pemimpin mereka.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa proses
pengangkatan khalifah Utsman bin Afan dan Ali bin Abi Thalib berbeda. Jika
Utsman bin Afan melalui pembentukan tim formatur yang dibentuk oleh
pendahulunya, yaitu khalifah Umar ibn Khatab. Sedangkan proses pengangkatan Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah dilakukan dengan cara dibaiat oleh umat Islam
secara langsung.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh khalifah Utsman bin Affan dimulai dengan
perluasan wilayah Islam, perluasan masjidil haran dan nabawi, penyeragaman
penulisan mushaf al-Quran. Akan tetapi karena kebijakan yang diambilnya
cenderung mengedepankan keluarga, maka khalifah Utsman pada akhirnya tidak
didukung masyarakat, dan berakhir tragis, yakni wafat dengan jalan dibunuh.
Adapun pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak ada kebijakan khalifah
yang strategis, hal ini disebabkan pada masa pemerintahannya tidak ada
sedikitpun masa pemerintahan yang stabil. Sehingga menimbulkan peperangan,
seperti perang jamal dan perang shiffin. Perpecahan umat menjadi tiga yaitu:
Syi’ah, Khawarij, dan Muawiyah. Khalifah Ali pun berakhir dengan tragis ia
wafat dengan cara dibunuh oleh kelompok khowarij ketika sedang melaksanakan
shalat subuh.
Daftar
Pustaka
Al-‘Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarata: akbar media. 2011
Amin, Syamsul Munir. Sejarah peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2010
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
2008
Yatim, Badri. Sejarah peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar