Selasa, 14 Mei 2013


1. Secara bahasa, kata istinbath berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan.
 Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.

Urgensi Istinbath Hukum dan Aplikasinya
Dalam sejarah Islam, telah banyak pemikiran besar yang mencoba
menggali sejumlah aturan kaidah fiqh dari berbagai nash al-Qur'an maupun
sunnah Nabi; mulai dari al-Syafi’i yang dilanjutkan oleh para teolog-skolastik
17Ibid., hlm. 40.
18Mukhtar Yahya, loc.cit.
28
(ulama Kalam) dari kalangan Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan para ahli filsafat
hukum Islam praktis seperti Najmuddin al-Thufi, Abu Husayn al-Bishri,
kemudian berakhir pada al-Baqilani, Imam Haramayn, al-Amidi, Fakr al-
Razi, Ibn Taymiyah, Ibn Qayim, al-Syatibi, al-Taftazani, dll. Ataupun
pemikir-pemikir kontemporer seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Abed al-Jabiri,
Arkoun, Fazlur Rahman, Muhammad Sharur, dll.
Para ulama genius di atas telah berupaya mengukuhkan ilmu ushul
fiqh ini, baik secara rinci maupun secara global, sehingga umat merasa yakin
bahwa tidak ada satu masalah pun yang tidak terbahas. Sekalipun ruang
pembaharuan di dalam ilmu ushul fiqh yang digali dari wahyu Allah masih
terasa sempit, namun perubahan yang luar biasa dalam berbagai aspek
kehidupan telah terjadi pada abad keduapuluhan ini. Di masa mendatang,
kondisi ini memberikan peluang bagi terjadinya suatu bentuk pergumulan
kasus aktual yang memerlukan adanya peninjauan kembali terhadap sejumlah
persoalan yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam terutama untuk
mengungkap kasus-kasus yang bisa digerakkan ke dalam sejumlah orientasi
yang bisa mengantarkan kepada akar persoalannya. Hal ini sesuai dengan apa
yang bisa melepaskan ikatan pergumulan pemikiran kontemporer, dalam
rangka mentransformasikan syari’at Islam dari kehampaan dan kesia-siaan
kepada posisi yang realistis dan praktis.
Menurut Ahmad Hasan, apabila melihat gambaran yurisprudensi
Islam dalam periode awal yang muncul dan karya-karya yang terkemudian,
sesungguhnya adalah hasil perkembangan sejarah. Untuk itu, metode yang
29
tepat lebih tepat untuk menghadapi kasus-kasus terkini adalah dengan melakukan analisa kritis atas masalah-masalah hukum itu sendiri dan pembahasannya dalam kitab-kitab pegangan hukum yang awal, dan menarik
kesimpulan dari analisa tersebut.19 Dalam kasus tersebut, Fazlur Rahman memandang perlunya
historicocritical method dan hermeneutic method. Historicocritical method
(metode kritis sejarah) merupakan sebuah pedekatan kesejaharan yang pada
prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan
mencari nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Tekanan dalam
metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah
data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri.20 Sedangkan hermeneutic
method adalah metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno
seperti teks kitab suci, sejarah dan hukum. Dalam pengoperasiannya metode
tersebut dipakai untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat).
Metode ini selalu berhubungan dengan tiga aspek dan teks itu, misalnya;
dalam konteks apa suatu teks ditulis (diwahyukan), bagaimana komposisi tata
bahasa teks (ayat) tersebut (bagaimana pengucapannya, apa yang
dikatakannya), dan bagaimana keseluruhan teks (ayat).21
Contoh aplikasi kedua metode tersebut dapat dipakai misalnya dalam
menghukumi poligmai. Perdebatan poligami dimulai dari pemahaman
terhadapa surat al-Nisa ayat 3:
19Ahmad Hasan,
2. Hukum
 Definisi
Secara bahasa hukum berarti putusan. Ketika diucapkan “Hakama Allahu fi al-Mas’alah al-wujuub”, maka ia mempunyai arti Allah memutuskan masalah ini dengan putusan wajib.[1]
Dalam istilah ulama ushul, hukum didefinisikan sebagai suatu khitab syari’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, baik yang bersifat thalab (tuntutan),takhyiir (pilihan) atau wadl’i (ketetapan).[2]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar