Senin, 06 Januari 2014

makalah sejarah pendidikan islam tentang lembaga-lembaga pendidikan islam



I.       PENDAHULUAN
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan proses pendidikan karena lembaga berfungsi sebagai mediator dalam mengatur jalannya pendidikan. Dan pada zaman sekarang ini tampaknya tidaklah disebut pendidikan jika tidak ada lembaganya.
Lembaga pendidikan dewasa ini juga sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan dengan konsep islam. Lembaga pendidikan islam merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita umat islam.
Masjid, pondok pesantren dan madrasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan islam yang mutlak diperlukan di suatu negara secara umum atau disebuah kota secara khususnya, karena lembaga-lembaga itu ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga, yang mana lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri akan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan mantap dalam aqidah keislaman. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas masalah yang berkaitan dengan lembaga pendidikan islam tersebut.


II.    PEMBAHASAN
LEMBAGA DAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.    Mesjid (Langgar, Rangkang,  Surau)
Secara harfiah masjid diartikan sebagai tempat duduk atau setiap tempat yang dipergunakan untuk beribadah.[1] Secara harfiah, masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun, dalam artiterminologi, masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas.[2] Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang Islam. Di dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque.[3] Masjid memegang peran penting dalam pendidikan islam, karena masjid atau surau merupakan sarana yang pokok dan mutlak keperluannya bagi perkembangan masyarakat islam. Masjid, surau dan langgar dianggap sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia sebelum adanya pesantren. Pendidikan di surau atau langgar adalah pendidikan tingkat dasar yang biasa disebut sebagai pengajian al-Qur’an. Kemudian pendidikan dan pengajaran tingkat lanjutan yang disebut pengajian kitan diselenggarakan di masjid. Sementara itu di sebagian daerah surau langgar berfungsi sebagai pesantren.[4] Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi SAW. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, dan pusat pemukiman, serta sebagai tempat ibadah dan I’tikaf.[5].
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa yang di maksu dengan masjid adalah suatu tempat yang digunakan untuk kegiatan ibadah bagi orang-orang Islam, seperti sholat. Dan masjid menjadi lembaga pendidikan pertama di Indonesia terutama pendidikan agama Islam.
Al-‘Abdi menyatakan bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid, akan terlihat hidupnya Sunnah-sunnah Islam, menghilangkan segala bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Tuhan, serta menghilangnya stratafikasi status sosial-ekonomi dalam pendidikan.[6]Adapun cara yang dipergunakan dalam belajar dan mengajar disurau dan di masjid dapat ditentukan sebagai berikut: anak-anak belajar secara duduk dalam keadaan bersila tanpa menggunakan bangku dan meja demikian halnya dengan guru. Mereka belajar dengan guru seorangan demi seorangan dan belum berkelas-kelas seperti sekolah-sekolah sekarang. Materi pelajarannya sangat bervariasi, tergantung kepada kemampuan dan potensi anak-anak. Namun, pada dasarnya setiap anak memulai pelajarannya dari huruf Hijaiyah, mereka menghafal dan mengenal hurufnya satu persatu, baru kemudian dirangkaikan. Mereka tidak belajar menuliskan huruf-huruf tersebut. Setelah pandai membaca surat-surat pendek terutama yang ada di juz’amma baru diperkenankan membaca al-Qur’an dari prmulaan secara berturut-turut sampai khatam.[7] Selain materi al-Qur’an ada juga materi ibadah, yang dimulai dengan berwudhu dan shalat. Pelajaran ini diberikan secara langsung nelalui teladan dan praktek. Lama belajar al-qur’an tergantung pada setiap anak. Anak yang mampu dan rajin bisa menatkan al-Qur’an dalam waktu 2-3 tahun, begitu juga setiap murid pada pengajian setiap waktu belajar tidak tetap, karena di antara anak-anak ada yang rajin dan ada yang malas waktu belajar biasanya sesudah waktu-waktu shalat.
Jadi dapat saya pahami bahwa dalam proses belaja mengajar di masjid yaitu tanpa menggunakan kursi dan meja tetapi anak-anak dan guru duduk bersila dan mereka belajar dengan guru secara bergantian atau satu demi satu atau seorang demi seorang. Kemudian materinya bervariasi, tergantung pada kepada kemampuan dan potensi anak didik. Pelajaran yang pertama di ajarkan yaitu mengenal dan nenghafal huruf-huruf Hijaiyah, kemudian mereka belajar juz’ama setelah itu baru belajar baca al-Qur’an. Anak-anak juga di ajarkan materi ibadah seperti wudhu dan shalat secara praktek.
Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang dilakukan oleh masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat dari segifungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat Idul Fitri, IdulAdha, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan mental spiritual yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari sejumlah kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam bentuk halaqoh (lingkaran studi) yang dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir sedemikian rupa, tanpa sebuah aturan formal yang tertulis dan mengikat secarakaku. Kedua, peran masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan masyarakat dapat dipelajari di masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersiafat amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan di masjid akan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan kepemimpinan.[8]
Bulan Ramadhan biasanya merupakan waktu yang istimewa bagi pengajian al-Qur’an, surau dan masjid biasanya penuh dengan kegiatan ibadah dan pengajian al-Qur’an baik anak-anak maupun orang dewasa. Pengajian tadarus setelah shalat taraweh bagi kaum bapak dan setelah shalat shubuh bagi kaum ibu. Di samping menjadi pesantren, sebagian masjid dan surau tertentu misalnya di Palembang masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II memberikan tingkat pendidikan lanjutan yang disebut pengajian kitab oleh para kiai yang ahli. Kitab-kitab yang digunakan adalah kitab-kitab yang biasa digunakan dipesantren-pesantren.[9]


B.     Pesantren
Di Indonesia istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan terebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.[10]
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di indonesia. Lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaanislam masuk ke Indonesia. Pesantren merupakan sebuah kompleks dengan lokasi umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu terdiri dari beberapa bangunan, di antarnya rumah kediaman kyai, sebuah masjid, tempat pengajaran diberikan diasrama tempat tinggal para santri. Ada lima elemen atau unsur penting dalam pesantren, yaitu kyai, santri, pondok dan masjid, dan kitab-kitab islam klasik.[11]
Menurut para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhilima syarat, yaitu: ada kiai, ada pondok, ada masjid, ada santri, ada pelajaran membaca kitab kuning.[12]
Dari beberapa pengertian di atas dapat saya simpulkan bahwa pesantren atau kutab dalam bahasa aranya adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tertua di Indonesia yang didalam terdapat suatu komplek (asrama, rumah kyai dan masjid) yang bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:[13]
a.       Tujuan umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya,
b.      Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu modelsistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan serogan. Di JawaBarat, metode tersebut diistilahkan dengan benndungan, sedangkan diSumatera digunakan istilah halaqah.[14]
a.       Metode wetonan (halaqah). Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiaiyang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinyamembawa kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kiai.Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
b.      Metode serogan. Metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan(mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahandalam bacaannya itu langsung dibenari kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis, tafsir Al-Quran, teologi islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah “kitab kuning”.[15] Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu didalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalamrangka inovasi terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:[16]
a.       Mulai akrab dengan metodelogi modern.
b.      Semakin berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
c.       Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak absolute, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilanyang diperlukan di lapangan kerja.
d.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur,sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kinitelah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagaijawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arustransformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:[17]
a.       Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah);
b.      Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab;
c.       Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang islami;
d.      Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamatdari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.

C.    Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan. Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.[18]
Istilah madrasah pada masa klasik berbeda pada masa sekarang. Pada masa klasik madrasah disamakan dengan Universitas, namun pada masa sekarang adalah fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang kehadirannya pada awal abad ke-20. Lembaga pendidikan madrasah, sejak tumbuhnya merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan atau bimbingan dari pemerintah kolonial belanda. Setelah Indonesia merdeka barulah madrasah dan pesantren mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini pembinaan dan tuntunan, wewenang diserahkan ke Departemen Agama.[19]
Kementrian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1952. Menurut ketetapan ini yang di namakan madrasah ialah tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam islam menjadi pokok pelajaran.
Jadi menurut saya dari beberapa pengertian di atas, dapat saya simpulkan bahwa madrasah adalah wadah atau tempat yang diatur untuk belajar ilmu pengetahuan agama islam yang paling utama dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya. Sebelum Indonesia merdeka madrasah sebagai lembaga pendidikan islam merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, setelah Indonesia merdeka barulah mendapatkan perhatian pemerintah. Dalam pengembangannya madrasah berada dalam naungan Departemen Agama.
Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui Perdana Menteri Bani Saljuk yang bernama Nidzam al-Muluk, melalui Madrasah Nidzamiah yang didirikannya pada tahun 1065 M.[20] Selanjutnya, Gibb dan Kramers menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Shalah al-Din al-Ayyubi.[21] Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:[22]
a.       Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam
b.      Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistempendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperolehkesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah
c.       Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
d.      Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasilakulturasi.  
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor I tahun 1952. Jenjang pendidikan madrasah tersusun sebagai berikut:[23]
a.       Madrasah rendah atau sekarang lazim dikenal sebagai Madrasah Ibtidaiyah, ialah madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam yang menjadi pokok pelajarannya, lama pendidikan 6 tahun.
b.      Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (Madrasah Tsanawiyah) ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah rendah atau sederajat dengan itu, serta memberikan pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama pendidikan 3 tahun.
c.       Madrasah Lanjutan Atas (Madrasah Aliyah) ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah lanjutan pertama atau yang sederajat memberikan pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama belajar 3 tahun.
Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Hal ini dilatar belakangi bahwa siswa-siswa madrasah sebagaimana halnya tiap-tiap warga negara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah, yang menghendaki melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[24]
Adapun SKB 3 Menteri tersebut menetapkan:[25]
a.       Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.
c.       Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menengahi anatara pesantren dan pendidikan modern. Dan berdasarkan peraturan pemerintah, madrasah terbagi menjadi 3 yaitu: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Kemudian pembinaan dan pengembangan madrasah tetap dilaksanakan semenjak munculnya istilah madrasah sampai lahirnya SKB 3 Menteri, di mana madrasah dipersamakan atau disetarakan dengan sekolah umum, yang dalam hal ini adalah sekolah negeri umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sederajat. Dan demikian jelasnya bahwa pemerintah tetap memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia.
Adapun sarana yang ada dimadrasah sama halnya dengan di pesantren hanya perbedaannya, jika di PONPES ada pondok/asrama sebagai tempat tinggal, kiayi dan kitab-kitab kuning/klasik sedangkan di madrasah tidak ada, dan dimadrasah sistem pembelajarannya di kelas. Maka diperlukan adanya fasilitas ruangan, seperti meja, kursi, papan tulis dan lain-lain.
Adapun struktur program kurikulum madrasah Aliyah tahun 1984, pendidikan agama terdiri dari mata pelajaran:
  1. Qur’an Hadits
  2. Akidah Akhlak
  3. Fikih
  4. Sejarah dan Peradaban Islam
  5. Bahasa Arab, semua program ini di golongkan kepada program inti.

D.    Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
a.      Sejarah PTAI
Sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia bermula pada awal tahun 1945 ketika Masyumi memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Pada april 1945 Masyumi menyelenggarakan pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh organisasi-organisasi Islam, kalangan intelektual dan ulama serta unsur pemerintah (shumubu). Tokoh-tokoh yang hadir yaitu KH. Abdul Wahab, KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahid Hasyim, KH. Mas Mansur, K.H.A. halim, KH. Imam Zarkasyi, Mr. Moh. Roem. Rapat tersebut berhasil mewujudkan rencana mendirikan Sekolah Tinggi Islam dibawah pimpinan Moh. Hatta. STI dibuka secara resmi pada tanggal 8 juli1945 di Jakarta.
Adapun tujuan didirikannya STI adalah untuk memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu kamasyarakatan, agar menjadi penyiar dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia.
Lama masa studi di lembaga ini direncanakan berlangsung selama 2 tahun sampai mencapai gelar sarjana mudan, ditambah 2 tahun lagi untuk memperoleh sarjana. Kurikulumnya mencontoh dari Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar di kairo. karena ibukota pindah ke Yogyakarta maka STI juga ikut pndah. Pada tanggal 10 april 1946 STI dibuka kembali di Yogyakarta dengan dihadiri Presidan Soekarno dan Hatta. Rektornya pada saat itu adalah Kahar Muzakkir.
Pada tanggal 22 maret 1948 STI di ubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan beberapa fakultas yaitu, Fakultas Agama, Hukum, Ekonomi dan Pendidikan. Di yogyakarta saatt itu ada 2 Universitas yaitu UII dan UGM. Pemerintah menawarkan kepada kelompok nasionalis untuk menegrikan UGM dan diterima oleh pihak UGM. Tawaran yang sama kepada pengelola UII dapat diterima dengan syarat  harus berada dibawah Kementrian Agama. Akibatnya hanya satu Fakultas saja yang dinegerikan yaitu Fakultas Agama. Fakultas Agama UII yang kemudian dinegrikan menjadi Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan PP No. 34/1950 tanggal 14 agustus 1950 yang kemudian menjadi IAIN.
Dalm perkembangannya di Jakarta berdiri lembaga pendidikan tinggi agama dengan nama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).  Pada tahun 1960 AIDA Jakarta dan PTAIN Yogyakarta disatukan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN bermula dengan 2 fakultas yaitu Ushuluddin dan Syari’ah di Yogyakarta dan fakultas tarbiyah dan adab di Jakarta. Berdasarkan SK  MENAG No 49 tahun 1963 pada tanggal 25 februari 1963 mengenai pemisahan IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta.
Sampai saat ini IAIN terus berkembang dan menyebar ke berbagai daerah di seluruh Indonesia sebanyak 14 IAIN dan 6 diantaraya berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) yang didalamnya terdapat fakultas-fakultas umum seperti Kedokteran, Ekonomi.
Dari beberapa uraian-uraian diatasa dapat saya simpulakan bahwa STI pertamakali berdiri di Jikarta.  Dan tujuan didirikannya adalah untuk memberikan pelajaran dan pendidikan tentang ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu kamasyarakatan, agar menjadi penyiar dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia. Lamanya pendidikan adalah 2 tahun dan memperoleh gelar Sarjana. Kurikulumnya mencontoh Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar di kairo. Karena ibu kota sempat pindah ke Yogyakarta maka STI juga ikut pindah dan di buka kembali pada tanggal 10 april 1946. Pada tanggal 22 maret 1998 STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) beberapa fakultas yaitu, Fakultas Agama, Hukum, Ekonomi dan Pendidikan. Dalam perkembangannya Fakultas Agama mendapat tawaran dari Kementerian Agama untuk menjadi negeri. Dan Fakultas Agama UII yang kemudian dinegrikan menjadi Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan PP No. 34/1950 tanggal 14 agustus 1950 yang kemudian menjadi IAIN.
b.      Macam-macam Perguruan Tinggi Agama Islam
a)       Pendidikan Tinggi Islam
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI). Menurut Mahmud Yunus perguruan tinggi yang pertama di Sumatera Barat bahkan di Indonesia. Tetapi, ketika Jepang masuk ke Sumatera Barat pada tahun 1941, pendidikan tinggi ditutup sebab Jepang hanya mengizinkan di buka tingkat dasar dan menengah.
Pendidikan ini di buka dari dua fakultas, yaitu:[26]
  1. Fakultas Syari’ah (Agama)
  2. Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab
Untuk lebih meningkatkan efektivitas keluasan jangkauan maka muncullah untuk mengubah menjadi univesitas. Dan kemudian menjadian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membuka 4 fakultas, yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, Ekonomi.
Dalam perkembangan berikutnya fakultas agama UII ini di negerikan, sehingga ia terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)
b)      Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
PTAIN yang berdiri diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah siswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya adalah KH. Adnan.
PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama belajar 4 tahun pada tinggkat bakalaureat dan doktoral. Mata pelajaran agama didampingi mata pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusan. Mahasiswa jurusan Tarbiyah diperlukan pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, dan begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya.
c)       Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Dengan ditetapkannya peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada tahun 1951 No. K/651 tanggal 20 Januari 1951 (Agama) dan No. 143/K tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi di masukkan kesekolah-sekolah negeri dan swasta. Berkenaan dengan itu, dan berkaitan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, maka departemen agama untuk kesuksesan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik dan mempesiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama.
Lama belajar di ADIA 5 tahun yang dibagi kepada 2 tingkatan, tingkatan semi akedemik belajar 3 tahun, sedangkan tingkatan akademik lama bnelajarnya 2 tahun. Masing-masing tingkat terdiri dari 2 jurusan, yakni jurusan pendidikan agama dan jurusan sastra Arab.[27]
Syarat untuk diterima menjadi mahasiswa ADIA adalah lulusan atau berijazah SGAA, PGAA, atau PHIN, mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun dan berumur tidak lebih dari 30 tahun.
d)     Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Setelah PTAIN berusaha kurang lebih 9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi di maksud telah mengalami perkembangan. Dengan perkembangan tersebut dirasakan bahwa tidak mampu menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu keislaman tersebut kalau hanya berada di bawah satuan payung fakultas saja. Berkenaan dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk mengembangkan cakupan PTAIN kepada yang lebih luas.
Untuk menciptakan IAIN memerlukan proses yang cukup serius, ringkasnya penggabungan dua lembaga yang pada mulanya berdiri masing-masing PTAIN dan ADIA , berdasarkan pasal 2 peraturan Perisiden No. 11 Tahun 1960 tersebut Mentari agama mengeluarkan sebuah ketetapan Menteri Agama No. 43 Tahun 1960 tentang penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri dan sebagai pelaksanaannya di keluarkanlah Peraturan Menteri Agama No. 8 tahun 1961 tentang pelaksanaan penyelenggaraan IAIN.
Beberapa pasal dari ketetapan Mentri Agama No. 43 tahun 1960 Peraturan Menteri Agama No. 15 tahun 1961 dapat di kemukakan sebagai berikut:
IAIN “Al-Jami’ah” ini teridiri dari:
1.      Fakultas Ushuluddin yang mempunyai 4 jurusan
v  Dakwah
v  Tasawuf
v  Filsafat
v  Perbandingan Agama
2.      Fakultas syari’ah mempunyai 3 jurusan
v  Tafsir/Hadits
v  Fikih
v  Qasdha
3.      Fakultas Tarbiyah terdiri dari 8 jurusan
v  Pendidikan Agama
v  Paedagogis
v  Bahasa Indonesia
v  Bahasa Inggris
v  Bahasa Arab
v  Khusus (imam tentara)
v  Etnologi dan Sosiologi
v  Hukum dan Ekonomi
4.      Fakultas Adab, yang mempunyai 4 jurusan
v  Sastra Arab
v  Sastra Weda
v  Sastra Pesia
v  Sejarah Kebudayaan Islam
IAIN Al-Jami’ah diresmikan berdirinya pada tanggal 2 Rabiul Awal tahun 1380 H. Dalam perkembangan berikutnya IAIN Sunan KaliJaga Yogyakarta berkembang menjadi 16 fakultas yang tersebar di beberapa tempat seperti Banjarmasin, Palembang, Surabaya, Serang, Banda Aceh, Jambi, Padang. Perkembangan fakultas agama di beberapa daerah merupakan realisasi ketatapan MPRS tanggal 3 Desember. 1960 No. 11/MPRS/1960 tentang garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana.
e)      Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
IAIN-IAIN pada awalnya cabang dari Yogyakarta atau Jakarta menjadi IAIN yang berdiri sendiri. Demikianlah hingga tahu 1973 IAIN tercatat 14 di seluruh Indonesia. IAIN yang berdiri sendiri itu, berdasarkan kebutuhan berbagai daerah membuka cabang pula di luar IAIN induknya sehingga IAIN menjadi berkembang di berbagai daerah, dalam perkembangan itu muncullah duplikasi fakultas.
Untuk menyahuti jiwa dan peraturan, yakni untuk menghindari terjadinya duplikasi tersebut serta untuk menjadikan fakultas-fakultas tersebut mandiri dan lebih dapat mengembangkan diri tidak terikat kepada peraturan yang mengengkang oleh IAIN induknya maka, maka fakultas-fakultas tersebut dilepasskan dari IAIN induknya masing-masing yang secara administrasi tidak lagi memiliki ikatan dengan IAIN induknya masing-masing.
Setelah dipisahkan itu bernamalah lembaga ini menjadi STAIN. Yang dulunya bernama Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan, berubah menjadi STAIN Padangsidimpuan, demikian seterusnya.
Beda IAIN dengan STAIN adalah. Jika Institut menyelenggarakan program akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang sejenis. Sedangkan sekolah tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.
f)       Universitas Islam Negeri
Beberapa tahun belakangan ini ada pikiran yang ingin mengembangkan  IAIN menjadi Universitas. Rintisan kearah itu telah mulai di laksanakan. Perubahan tersebut tidak begitu sulit selama pihak berwenang setuju. Ada beberapa modal dasar yang dimiliki IAIN yang menjadikan landasannya bagi pengembangannya.
Ø  Landasan filosofis dan konstitusional
Ø  Sosiologis
Ø  Edukatif
Dasar pemikiran yang paling penting tentang pembukaan IAIN ke UIN itu adalah:
Ø  Integrasi antara bidang ilmu agama dengan bidang ilmu umum sehingga kedua ilmu itu menjadi menyatu.
Ø  Berobahnya Madrasah sebagai sekolah yang berci khas agama Islam, sehingga tamatan Madrasah Aliyah lebih dipersiapkan untuk memasuki universitas madrasah di ajarkan ilmu-ilmu yang sama dengan apa yang di ajarkan di sekolah.
Ø  Alumni UIN lebih terbuka kesempatan untuk mobilitas vertikal ketimbang alumni IAIN dan lebih beragam lapangan kerja yang bisa dimasuki mereka.

g)      Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
UII setelah dinegerikan menjadi PTAIN tahun 1950, kemudian PTAIN digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN, dan dari IAIN dari fakultas-fakultas daerahnya menjadi STAIN, fakultas yang non agama UII (ekonomi, hukum, dan pendidikan) tetap menjadi fakultas swasta. Fakultas swasta menjadi berkembang dan sekarang ditambah dengan fakultas-fakultas lain.
Universitas Islam yang semacam ini sudah tersebar luas di Indonesia, ada yang di asuh oleh organisasi-organisasi Islam dan ada pula yang brbentuk yayasan yang tidak bernaung dalam satu organisasi Islam, seperti UISU (Universitas Islam Sumatera Utara).
Universitas-universitas Islam yang di bawah langsung organisasi Islam, tercatat misalnya Universitas Muhammadiyah, Universitas Nahdatul Ulama dll, universitas yang diasuh oleh organisasi maupun independen, fakultas keagamaan ini dibawah pengawasan Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) pada wilayah setempat.
Untuk menetapkan ciri keislaman pada universitas-universitas Islam Swasta tersebut pendidikan agama Islam pada fakultas non-keagamaan tidak hanya terbatas di beri 2 SKS saja seperti yang dilaksanakan di universitas-universitas negeri. Di universitas agama Islam swasta diberikan pendidikan agama Islam yang bervariasi di atas 2 SKS, sebagai contohnya Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan diberikan Pendidikan Agama Islam di setiap semesternya.


E.    Majelis Taklim
Menurut akar katanya, istilah majelis taklim terdiri dari dua kata: majelis yang berarti tempat dan taklim berarti pengajaran. Majelis taklim adalah suatu lembaga pendidikan diniyah non formal yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia bagi jamaahnya.
Majelis Taklim adalah lembaga pendidikan islam non formal merupakan salah satu wadah tempat berlangsungnya proses penyampaian dan peralihan ajaran-ajaran Islam. Tujuan majelis taklim adalah untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah Swt.[28] Dan berfungsi sebagai taman rekreasi rohaniah, karena penyelenggaraannya santai, sebagai ajang berlangsungnya silaturrahmi missal yang dapat menghidup suburkan dakwah dan ukhuwah Islamiyah.
Dalam prakteknya majelis taklim merupakan tempat pengajaran atau pendidikan agama Islam yang paling fleksibel dan tidak terkait dengan waktu. Majlis taklim bersifat terbuka terhadap segala usia, lapisan atau strata sosial, dan jenis klamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa pagi, siang, sore, atau malam. Tempat penyelenggaraanya pun bisa dilakukan dirumah, masjid, gedung, dan halaman.
Eksistensi majelis taklim beserta perangkatnya sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan telah tumbuh dan berkembang bersama warga masyarakatnya sejak berabad-abad. Oleh karena itu secara kultural lembaga ini bisa diterima, tetapi juga ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dab berkembang. Figur kyai, jama’ah serta seluruh perangkat fisik yang menandai sebuah majelis taklim senantiasa dikelilingi oleh sebuah kultur yang bersifat keagamaan.
Dari uraian diatas dapat saya pahami bahwa majelis taklim adalah suatu lembaga non formal yang mengajarkan dan menyampaikan ajaran-ajaran atau pengetahuan tentang agama Islam. Tujuan dari majelis taklim yang pertama untuk meningkatkan iman dan bertakwa kepada Allah SWT. Yang kedua untuk membina akhlak yang mulia dan menjaga huungan antar sesame muslim dan lingkungan sekitar. Kemudian majelis taklim sebagai suatu lembaga pendidikan dan dakwah adalah suatu lembaga yang tidak terikat waktu dan tempat karena waktu dan tempat itu sendiri tidak tetap atau dapat beruah sesuai dengan kesepakan masyarakatnya. Dan majlis taklim ini boleh diikuti oleh seluruh umat islam. Didalam suatu majlis terdiri atas seorang kiayi dan para jama’ah.


III.      KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat saya simpulkan bahwa suatu pendidikan tidak akan lepas dari lembaga-lembaga yang menaunginya, oleh karena itu pendidikan islam khususnya pada masa tradisional sudah menunjukan adanya lembaga-lembaga tersebut di antaranya yaitu: masjid dan surau, pesantren, dan madrasah.
Masjid merupakan salah satu lembaga pendidikan islam pada masa tradisional, hal ini tercermin dalam kegiatan-kegiatan yang di selenggarakan di masjid dan surau, salah satunya adalah pembelajaran yang di selenggarakan di surau adalah pendidikan tingkat dasar yang biasa di sebut sebagai pengajian al qur’an. Sedangkan masjid merupakan tempat pendidikan tingkat lanjutan yang di sebut dengan pengajian kitan.
Di samping masjid dan surau lembaga pendidikan islam selanjutnya adalah pesantren, pesantren merupakan lembaga tertua di Indonesia sebagai lembaga pendidikan. Biasanya pesantren itu sebuah komplek yang terpisah dari komplek atau perumahan di sekitarnya. Dalam pesantren terdapat komponen-komponen yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar antara lain yaitu: pertama, kyai (pengasuh pesantren) bisa juga di sebut sebagai orang yang di tuakan dan di hormati karena ilmu agamanya. Kedua, santri atau dapat kita sebut dalam zaman sekarang yaitu siswa, santri di sini ada yang bertempat di pondok (santri mukim), dan ada juga santri yang berasal dari tempat yang dekat dari daerah itu atau di sebut juga santri kalong. Ketiga, pondok merupakan tempat untuk para santri bermukim bagi yang daerah asalnya jauh dari pesantren. Keempat masjid merupakan tempat para santri beribadah ataupun belajar tentang agama. Kelima, kitab kitab klasik yaitu unsure mutlak dari proses belajar mengajar di dalam dunia pesantren, biasanya kitab kuning ini berbahasa arab,jawa, melayu dan lain lain, tidak bersakal dan identik dengan kertas yang berwarna kuning. Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi sebutan kitab kuning. 
Lembaga yang selanjutnya adalah madrasah, pada masa dahulu dan sekarang istilah madrasah itu berbeda. Pada masa dahulu madrasah hampir di samakan dengan universitas berbeda dengan sekarang yang menyebut madrasah itu dalah fenomena baru lembaga pendidikan islam. Pada masa sekarang madarasah itu mempunyai tingkatan-tingkatan yang terorganisir yaitu: madrasah rendah (ibtida’iyah), madrasah tingkat pertama (tsanawiyah), madrasah atas (aliyah).
Selanjutnya lembaga pendidikan di Isalam adalah perguruan tingigi islam (PTAI) yaitu lembaga pendidikan islam lanjutan yang tingkat tinggi setalah setelah jenjang madrasah. Sebenarnya dari awal kemerdekaan Indonesia sudah terdapat perguruan tinggi seperti sekolah tinggi islam (STI) kemudian berkembang menjadai UII yang merupakan perguruan tinggi yang di miliki oleh uat islam di Indonesia yang akhirnya di negrikan pada tahun 1950. Dan sampai sekarang benyak berkembang perguruan tinggi islam seperti IAIN,STAIN, UIN dan lain lain.
Lembaga pendidikan islam Yang terakhir yaitu majlis ta’lim yaitu merupakan lembaga pendidikan islam non formal. Majlis ta’lim merupakan taman rohani bagi umat muslim dan untuk menghidup suburkan dakwah dan ukhuwah islamiyah. Biasanya dalam majlis ta’lim selalu ada dua komponen yaitu kyai dan jamaah, kyai merupakan sumber pemberi penjelasan tentang seputar agama, sedangkan jamaah merupakan sekelompok orang yang menerima penjelasan tentang agama yang disampaikan oleh seorang kyai.
Daftar Pustaka
Niswah, Choirun. sejarah pendidikan islam. Palembang: rafah press. 2010
Mujib, Abdul. .Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Penada Media. 2006
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. ke-9. Jakarta: Kalam Mulia. 2011
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. ke-6. Jakarta: PT.Hidakarya Agung. 1990
Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. Ke-2.Jakarta: Kencana. 2008
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2010
Salahudin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. 2011
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam. Cet. K-10.Bandung: Rosda. 2010



[1] Choirun niswah, sejarah pendidikan islam, (Palembang: rafah press, 2010), hal  207.
[2] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet ke 2,hal. 231
[3] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010). hal. 102.
[4] Choirun niswah, Op.Cit. hal  207.
[5] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.Cit. hal. 231
[6] Ibid. hal 231-232
[7] Choirun niswah, Op.Cit. hal. 207-208
[8] Abuddin Nata, Op.Cit,. hal. 195
[9] Choirun niswah, Op.Cit. hal  208-209
[10] Abdul,Mujib, Op.cit,. hal  234-235.
[11] Choirun niswah, Op.cit, hal 209-210
[12] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda, 2010), Cet ke10. hlm. 191
[13] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 235
[14] Ibid. hlm. 236.
[15] Ibid
[16] Ibid. hlm. 237
[17] Ibid
[18] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 199
[19] Choirun Niswah, Op.Cit, hal. 215
[20] Ibid
[21] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 241
[22] Ibid
[23] Choirun Niswah, Op.Cit, hal. 216
[24] Ibid. 217
[25] Ibid
[26] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidayakarya, 1979),  Hlm. 121
[27] . Ibid, Haidar Putra Daulay, hlm 125-124
[28] Choirun Niswah, Op.Cit, hal. 221-222

2 komentar: