Kamis, 30 Mei 2013

sejarah

Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abasiyah


A. Dinasti Abassiyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass.[1] Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M).

Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan, Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang pesat tidak saja di Baghdad tetapi juga di Kufah, Basrah, Jundabir, dan Harran. Pada masa-masa awal sudah ada sekitar 800 orang dokter dengan berbagai kehliannya, apoteker, dan kelengkapan-kelengkapan kesehatan lainnya. Sementara putranya al-Ma’mun, dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu. Pada masanya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia memberi gaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan besar..[2]dan digunakan juga sebagai pusat penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi perpustakaan umum dan diberi nama “Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari ilmu datang berduyun-duyun.[3]

B. Perkembangan ilmu pengetahuan

Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas bani Abbas sendiri. Sebagian diantarannya sudah dimulai pada awal kebangkitan islam. Lembaga pendidikan sudah berkembang, ketika itu lembaga pendidikan ini terdiri dari dua tingkat :

1. Maktab/Kuttab dan mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar agama, seperti tafsir, hadis, fiqh, dan bahasa.

2. Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memper dalam ilmunya, pergi keluar daerah untuk menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Ilmu yang dituntut umumnya ilmu agama, pengajarannya biasanya berlangsung di mesjid-mesjid atau di rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut, dengan memanggil ulama’ ahli kesana.

Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yapitu :

1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk islam. Asimilasinya berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam. Pengaruh Persia, sangat kuat dibidang pemerintahan. Selain itu bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk dalam banyak bidang ilmu terutama filsafat.[4]

2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Pertama, pada khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan yaitu dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[5]

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.[6]

Perhatian dan minat orang Arab Islam pada masa paling awal tertuju paada bidang ilmu pengetahuan yang lahir karena motif keagamaan. Kebutuhan untuk memahami dan menjelaskan al-Qur’an, kemudian menjadi landasan teologis yang serius. Interaksi dengan dunia kristen di Damaskus telah memicu munculnya pemikiran spekulatif teologis yang melahirkan madzhab pemikiran Murji’ah dan Qodariyah. Untuk mempelajari teologi di sediakan madrasah yang sudah diakui oleh negara yaitu Madrasah Nizhamiyah, khususnya untuk mempelajari madzhab syafi’i dan teologi asy’ariyah.[7] . Bidang kajian berikutnya adalah Hadits, yaitu perilaku, ucapan, persetujuan Nabi. Yang kemudian menjadi sumber ajaran paling penting, awalnya hanya diriwayatkan dari mulut kemulut, kemudian direkam pada abad ke-2 hijriyah.[8]

Lahirnya ilmu kalam atau teologi itu dikarenakan dua faktor :

1. Untuk membela islam dengan bersenjatakan filsafat,

2. Karena semua masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa ke pola akal dan ilmu.[9]


Faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa dinasti Abassiyah, diantarannya adalah :

1. Kontak antara slam dan Persia menjadi jembatan perkembangan sainsdan filsafat karena secara kultural persia banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuan Yunani.

2. Etos ke ilmuan para khalifah Abbasiyah tampak menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun Ar-rassyid dan Al-Ma’mun yang begitu mencintai Ilmu.

3. Peran keluarga Barmak yang sengaja dipanggil oleh khalifah untuk mendidik keluarga istana dalam hal pengembangan keilmuan.

4. Aktifitas penerjemahan literatur-literatur Yunani kedalam bahasa Arab demikian besar dan ini didukung oleh khalifah yang memberi imbalanyang besar terhadap para penterjemah.

5. Relatif tidak adanya pembukaan daerah dan pemberontakan-pemberontakan menyebabkan stabilitas negara terjamin sehingga konsentrasi pemerintah untuk memajukan aspek sosial dan intelektual menemukan peluangnya.

6. Adanya peradaban dan kebudayaan yang heterogen di Baghdad menimbulkan proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain.

7. Situasi sosial baghdad yang kosmopolit dimana berbagai macam suku, ras dan etnis serta masing-masing kulturalyang berinteraksi satu sama lain, mendorong adanya pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.[10]


Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya-upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat ihat dari bangunan-bangunan yang berupa:


a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan
pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini
merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.


d. Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan
ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.

C. Tokoh-tokoh/ Para ilmuwan zaman Abbasiyah

1. Bidang Astronomi
• Al-Fazari, astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe
2.Bidang Kedokteran
•Ibnu Sina (Avicenna), bukunya yang fenomenal yaitu al-Qanun fi al-Tiib. Ia juga berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia.
3.Bidang Optika
•Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythani (al-Hazen), terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihatnya.
4.Bidang Kimia
Jabir ibn Hayyan, ia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak
5.Bidang Matematika
•Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah
6.Bidang Sejarah
•Al-Mas’udi, diantara karyanya adalah Muruj al-Zahab wa Ma’adin al-Jawahir
•Ibn Sa’ad
7.Bidang Filsafat
•Al-Farabi, banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles
8.Bidang Tafsir
•Ibn Jarir ath Tabary
9.Bidang Hadis
•Imam Bukhori
10.Bidang Kalam
•Al-Asy’ari
11.Bidang Geografi
•Syarif Idrisy
12.Bidang Tasawuf
•Shabuddin Sahrawardi[11]




KESIMPULAN


1. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani
Umayyah.

2. Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreatifitas bani Abbas sendiri. Sebagian diantarannya sudah dimulai pada awal kebangkitan islam. Lembaga pendidikan sudah berkembang, ketika itu lembaga pendidikan ini terdiri dari dua tingkat :

- Maktab/Kuttab dan mesjid

- Tingkat pendalaman

3. Lahirnya ilmu kalam atau teologi itu dikarenakan dua faktor :

- Untuk membela islam dengan bersenjatakan filsafat,

- Karena semua masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa ke pola akal dan ilmu

4. bangunan-bangunan masa Abassiyah

a. Kuttab,

b. Majlis Muhadharah

c. Darul Hikmah

d. Madrasah

e. Masjid

5. Para ilmuwan zaman Abbasiyah

Al-Fazari,, Ibnu Sina, Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythani, Jabir ibn Hayyan, Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, Al-Farabi, Ibn Jarir ath Tabary, Imam Bukhori, Al-Asy’ariif Idrisy, Shabuddin Sahrawardi.





DAFTAR PUSTAKA


Saefudin, Didin, Zaman ke emasaan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abassiyah, Pt Grasindo, Jakarta:2002.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam dirasah islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta:2000.

Hitti, K. Philip, History of the Arabs di terjemahkan dari history of Arabs, PT. Serambi Ilmu Semesta, jakarta: 2005.

Prof. Dr. Hj. Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam, Prenada Media, Jakarta Timur:2003.

http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masa-daulah-bani-abbasiyah/

http://prodibpi.wordpress.com/2010/08/05/pendidikan-islam-masa-bani-abbasiyah-tanpa-dikotomi/

http://miftah-effendi.blogspot.com/2010/04/pendidikan-islam-pada-zaman-bani.html

http://paistudy.blogspot.com/2011/06/sejarah-daulah-abbasiyah.html





[1] http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masa-daulah-bani-abbasiyah/ 18 OKT 2011,5.57


[2] http://prodibpi.wordpress.com/2010/08/05/pendidikan-islam-masa-bani-abbasiyah-tanpa-dikotomi/


[3] http://miftah-effendi.blogspot.com/2010/04/pendidikan-islam-pada-zaman-bani.html


[4] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam dirasah islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, th. 2000,h. 55


[5][5][5] Ibid badri Yatim 56


[6] http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-islam/islam-pada-masa-daulah-bani-abbasiyah/


[7] Philip K.Hitti, History of the Arabs, PT. Serambi Ilmu Semesta, jakarta, 2005, h.514


[8] ibid. 492


[9] Musrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik perkembangan ilmu pengetahuan islam, prenada Media, 2003, h. 68


[10] Didin Saefudin, Zaman ke emasaan Islam Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abassiyah, Pt Grasindo, Jakarta, 2002, h. 147-148.


[11] http://paistudy.blogspot.com/2011/06/sejarah-daulah-abbasiyah.html

Selasa, 14 Mei 2013


1. Secara bahasa, kata istinbath berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan.
 Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.

Urgensi Istinbath Hukum dan Aplikasinya
Dalam sejarah Islam, telah banyak pemikiran besar yang mencoba
menggali sejumlah aturan kaidah fiqh dari berbagai nash al-Qur'an maupun
sunnah Nabi; mulai dari al-Syafi’i yang dilanjutkan oleh para teolog-skolastik
17Ibid., hlm. 40.
18Mukhtar Yahya, loc.cit.
28
(ulama Kalam) dari kalangan Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan para ahli filsafat
hukum Islam praktis seperti Najmuddin al-Thufi, Abu Husayn al-Bishri,
kemudian berakhir pada al-Baqilani, Imam Haramayn, al-Amidi, Fakr al-
Razi, Ibn Taymiyah, Ibn Qayim, al-Syatibi, al-Taftazani, dll. Ataupun
pemikir-pemikir kontemporer seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Abed al-Jabiri,
Arkoun, Fazlur Rahman, Muhammad Sharur, dll.
Para ulama genius di atas telah berupaya mengukuhkan ilmu ushul
fiqh ini, baik secara rinci maupun secara global, sehingga umat merasa yakin
bahwa tidak ada satu masalah pun yang tidak terbahas. Sekalipun ruang
pembaharuan di dalam ilmu ushul fiqh yang digali dari wahyu Allah masih
terasa sempit, namun perubahan yang luar biasa dalam berbagai aspek
kehidupan telah terjadi pada abad keduapuluhan ini. Di masa mendatang,
kondisi ini memberikan peluang bagi terjadinya suatu bentuk pergumulan
kasus aktual yang memerlukan adanya peninjauan kembali terhadap sejumlah
persoalan yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam terutama untuk
mengungkap kasus-kasus yang bisa digerakkan ke dalam sejumlah orientasi
yang bisa mengantarkan kepada akar persoalannya. Hal ini sesuai dengan apa
yang bisa melepaskan ikatan pergumulan pemikiran kontemporer, dalam
rangka mentransformasikan syari’at Islam dari kehampaan dan kesia-siaan
kepada posisi yang realistis dan praktis.
Menurut Ahmad Hasan, apabila melihat gambaran yurisprudensi
Islam dalam periode awal yang muncul dan karya-karya yang terkemudian,
sesungguhnya adalah hasil perkembangan sejarah. Untuk itu, metode yang
29
tepat lebih tepat untuk menghadapi kasus-kasus terkini adalah dengan melakukan analisa kritis atas masalah-masalah hukum itu sendiri dan pembahasannya dalam kitab-kitab pegangan hukum yang awal, dan menarik
kesimpulan dari analisa tersebut.19 Dalam kasus tersebut, Fazlur Rahman memandang perlunya
historicocritical method dan hermeneutic method. Historicocritical method
(metode kritis sejarah) merupakan sebuah pedekatan kesejaharan yang pada
prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan
mencari nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Tekanan dalam
metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah
data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri.20 Sedangkan hermeneutic
method adalah metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno
seperti teks kitab suci, sejarah dan hukum. Dalam pengoperasiannya metode
tersebut dipakai untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat).
Metode ini selalu berhubungan dengan tiga aspek dan teks itu, misalnya;
dalam konteks apa suatu teks ditulis (diwahyukan), bagaimana komposisi tata
bahasa teks (ayat) tersebut (bagaimana pengucapannya, apa yang
dikatakannya), dan bagaimana keseluruhan teks (ayat).21
Contoh aplikasi kedua metode tersebut dapat dipakai misalnya dalam
menghukumi poligmai. Perdebatan poligami dimulai dari pemahaman
terhadapa surat al-Nisa ayat 3:
19Ahmad Hasan,
2. Hukum
 Definisi
Secara bahasa hukum berarti putusan. Ketika diucapkan “Hakama Allahu fi al-Mas’alah al-wujuub”, maka ia mempunyai arti Allah memutuskan masalah ini dengan putusan wajib.[1]
Dalam istilah ulama ushul, hukum didefinisikan sebagai suatu khitab syari’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, baik yang bersifat thalab (tuntutan),takhyiir (pilihan) atau wadl’i (ketetapan).[2]

Minggu, 12 Mei 2013

khalifah utsman bin affan dan khalifah ali bin abi thalib



khalifah utsman bin affan dan khalifah ali bin abi thalib

ahmad amhari 12210015

IAIN Radenfatah
palembang








PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang Masalah
Setelahnya Nabi Muhammad SAW wafat, proses penggantian kepemimpinan terus terjadi, dan berbeda-beda dalam pemilihannya. setelah Abu Bakar berakhir memimpin sebahai khalifah, kemudian digantikan dengan Umar Ibn Khatab. Kedua pemimpin besar ini telah menancapkan pengaruhnya dengan mengeluarkan berabgai kebijakan yang sangat strategis demi kemajuan umat Islam, hingga akhirnya khalifah Umar Ibn Khatab meninggal dunia. Sepeningalnya Umar ibn Khatab proses pergantian kepemimpinan Negara pun tidak berhenti, maka dilanjutkan dengan para penerusnya. Mereka ini termasuk dalam golongan khulafaurrasyidun, yakni khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara pengangkatan Utsman bin Affan menjadi khalifah?
2.      Bagaimana proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib?
3.      Bagaimana pemerintahan Utsman bin affan?
4.      Permasalahan pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib?


PEMBAHASAN
A.    Usman bin Affan
a.      Biografi
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abd Al-Manaf dari suku Quraisy. Lahir pada tahun 576M. enam tahun setelah penyerangan kabah oleh pasukan bergajah atau 6 tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW. Utsman masuk islam pada usia 30 tahun atas ajakan Abu Bakar. Setelah masuk islam utsman mendapat siksaan dari pamannya yang bernama Hakam bin Abil Ash. Ustman di juluki dzun nurain, karena menikahi dua putrid Rasulullah SAW. Secara berurutan setelah yang satunya meninggal yaitu Ruqayyah dan Ummu Kulsum.

b.      Proses Pengankatan khalifah Utsman bin Affan
Seperti halnya Umar, Utsman diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melalui dewan syura atau formatur yang di bentuk oleh Umar menjelang wafat. Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari 6 orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abd Ar-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah bin Umar dijadikan anggota tetapi ia hanya memiliki hak pilih dan tidak berhak untuk dipilh.
Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut: pertama, yang menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara imbang yakni 3:3, Abdullah bin Umar yang berhak menentukannay. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah tidak diterima, calon yang dipilih Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah. Kalau masih ada yang menentang, maka penentang itu hendaklah dibunuh.
Anggota yang hawatir terhadap tatacara pemilihan tersebut adalah Ali. Karena ia khawatir terhadap Abd Ar-Rahman tidak bias berlaku adil karena antara Utsman dengan Abd Ar-Rahmanmasih ada hubungan kekerabatan. Akhirnya ali meminta Abd Ar-Rahman berjanji untuk berperilaku adil, tidak memihak, tidak mengikuti kemauan sendiri, tidak mengistimewakan keluarga, dan tidak menyulitkan umat.setelah Abd Ar-Rahman berjanji, ali menyutujuinya.
Kemudian Abd Ar-Rahman meminta pendapat kepada anggota formatur secara terpisah untuk membicarakan calon yang tepat untuk dijadikan khalifah. Hasilnya muncul dua kandidat yaitu Utsman dan Ali. Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash memilih Utsman, sedangkan Thalhah dan Zubair tidak ditanyai pendapat dandukungannya karena keduanya berada diluar madinah sehingga tidak sempat dihubungi. Kemudian Abd Ar-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan pembesar di luar anggota formatur. Ternyata suara masyarakat terpecah menjadi dua yaitu kubu Bani Hasyim mendukung Ali dan kubu Bani Umayyah mendukung Utsman. Kemudian Abd Ar-Rahman memanggil Ali dan bertanya, seandainya dia dipilih menjadi khalifah, sanggupkan melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Quran, sunah Rosul, dan kebijakan dua khalifah sebelumya? Ali menjawab, dirinya berharap dapat berbuat sejauh penygetahuan kemampuannya. Abd Ar-Rahman beganti memanggil Utsmandan menanyakan hal yang sama. Utsman menjawab dengan tegas,” ya! Saya sanggup.” Berdasarkan jawaban itu, Abd Ar-Rahman menyatakan Utsman sebagai khalifah ke-3, dan segeralah dilakukan baiat.
Ketika Utsman terpilih menjadi Khalifah usianya 70 tahun. Masa pemerintahan Utsman bin Affan termasuk yang paling lama, yaitu selama 12 tahun (24-36H/644-56M). Tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaanya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu 6 tahun pertama merupakan masa kejayaan pemerintahannya dan 6 tahun terakhir masa pemerintahan yang buruk.

c.       Pemerintahan Utsman bin Affan
1.      Dari segi politik
Pada masa awal pemerintahanya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Kekuasaan Islam telah mencapai asia dan afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah, juga Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian tersisa dari Persia, dan berhasil menumpas pemberontakan yang dilakukan orang Persia.
Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai oleh Islam seperti Mesir dan Irak terus dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militeryang terancang secara cermat. Di Mesir pasukan muslim diinstruksikan untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu peristiwa penting disini ialah “Zatis Sawari” (perang tiang kapal). Perang itu terjadi di Laut Tengah dekat dengan Iskandariyah, tentara Romawi dibawah pimpinan Kaisar Constantin dan laskar kaum muslimin dipimpin Abdullah bin Abi Sarah. kenapa dinamakan perang kapal karena banyak kapal-kapal perangyang digunakan dalam perang tersebut. Terdapat 1.000 buah kapal, dan 200 buah kapal milik kaum muslimin sedangkan sisanya milik bangsa Romawi. Pasukan islam berhasil mengusir pasukan lawan. Pasukan Islam bergerak dari kota Basrah untuk menaklukkan sisa wilayah kerajaan Sasan di Irak, dan dari kota Kufah.
Dari segi ekonomi, yaitu tentang pelaksanaan baitul maal, Ustman hanya melanjutkan pelaksanaan yang telah dilakukan pada masa sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Namun, pada masa Utsman, Ia dianggap telah melakukan korupsi karena terlalu banyak mengambil uang dari baitul maal untuk diberikan kepada kerabat-kerabatnya. Padahal, tujuan dari pemberian uang tersebut karena Utsman ingin menjaga tali silaturahim. Selain itu, disamping dari segi baitul maal, Utsman juga meningkatkan pertanian. Ia memerintahkan untuk menggunakan lahan-lahan yang tak terpakai sebagai lahan pertanian.
Dari segi pajak, Utsman, sama seperti dari segi baitul maal, melanjutkan perpajakan yang telah ada pada masa Umar. Namun sayangnya, pada masa Utsman pemberlakuan pajak tidak berjalan baik sebagaimana ketika masa Umar. Pada masa Utsman, demi memperlancar ekonomi dalam hal perdagangan, ia banyak melakukan perbaikan fasilitas, seperti perbaikan jalan-jalan dan sebagainya.

2.      Daru segi budaya atau pembangunan
Dari dimensi sosial budaya, ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam. Dengan adanya perluasan wilayah, maka banyak para sahabat yang mendatangi wilayah tersebut dengan tujuan mengajarkan agama Islam. Selain itu, adanya pertukaran pemikiran antara penduduk asli dengan para sahabat juga menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dengan baik. Dari segi sosial budaya, Utsman juga membangun mahkamah peradilan. Hal ini merupakan sebuah terobosan, karena sebelumnya peradilan dilakukan di mesjid. Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi di Mekah. Perluasan Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi sendiri dilakukan karena semakin bertambah banyaknya umat muslim yang melaksanakan haji setiap tahunnya.

3.      Penysunan Mushaf Utsmani
Karya monumental Utsman adalah membukukan mushaf Al-Qur’an. Tujuan pemushafan ini adalah untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan dalam pembacaan Al-Qur’an di kalangan umat Islam yang diketahui pada saat ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan muncul dikalangan tentara muslim, di mana sebagiannya direkrut dari suriah dan sebagian dari Irak.
Setelah wafatnya khalifah Umar, diangkatlah Usman bin Affan menjadi khalifah ke tiga. Suatu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa di mana pun umat Islam berada dan ke mana pun mereka pergi, namun al-Qur’an tetap menjadi Iman dan pedoman hidup yang utama bagi mereka. Akan tetapi pada masa pemerintahan Usman mulailah tampak gejala-gejala pertikaian antara kaum muslimin mengenai al-Qur’an, karena:
a)      Tidak adanya uniformitas atau keseragaman tentang susunan surat-surat pada naskah-naskah yang mereka miliki.
b)      Tidak adanya uniformitas dalam qiraat atau cara membaca ayat-ayat al-Qur’an.
c)      Tidak adanya uniformitas dalam ejaan tulisan yang mereka pakai dalam menuliskan ayat-ayat al-Qur’an.
Akan tetapi pada masa khalifah Usman ketidakseragaman qiraat telah menimbulkan perpecahan dan merasakan perlu untuk ditertibkan. Orang yang pertama mensinyalir adanya perpecahan adalah sahabat Huzaifah ibnul Yaman. Kemudian Huzaifah melaporkan kepada Usman segera mengambil langkah-langkah untuk mentertibkannya. Usul ini diterima oleh Usman dan Beliau mengambil langkah-langkah antara lain:
1)      Meminjam naskah yang telah ditulis oleh Zaid ibnu Tsabit pada masa Abu Bakar yang disimpan oleh Hafshah binti Umar.
2)      Membentuk panitia yang terdiri dari:
 Zaid ibnu Tsabit
 Abdulloh ibnu Zubair
 Sa’id ibnul Ash
 Abdurrohman ibnuh Harits ibnul Hijam
3)      Usman memberikan tugas pada panitia untuk menyalin dan menurun kembali ayat-ayat al-Qur’an dari lembaran-lembaran naskah Abu Bakar sehingga menjadi mushaf yang lebih sempurna.
4)      Usman memberikan patokan-patokan pada panitia dalam melakukan tugasnya adalah: Dalam menyalin ayat-ayat dari naskah Abu Bakar harus mengecek dan berpedoman pada hafalan para sahabat.
Ayat harus ditulis dengan memakai ejaan tulisan yang seragam. Apabila terjadi perselisihan antar anggota panitia tentang bahasa atau bacaan suatu kata harus ditulis dengan ejaan tulisan yang sesuai dengan lahjah atau dialek Suku Quraisy. Susunan surat hendaklah diatur menurut cara tertentu berdasarkan ijtihad dan pedoman yang didapat dari Rosululloh.
Akhirnya seiringnya waktu para panitia berhasil mengumpulkan dan menghimpun semua al-Qur’an kedalam sebuah mushaf yang dikenal dengan Mushaf Usmani. Sesuai dengan tujuan awal pengumpulan dan penghimpunan ini untuk memepersatukan semua umat islam yang sempat terpecah belah karena adanya perbedaan dalam pembacaan ayat al-Qur’an, maka khalifah Usman memerintahkan kepada semua gubernurnya untuk menghancurkan semua mushaf yang ada ditengah-tengah masyrakat dan digantikan dengan Mushaf Usmani.

d.      Periode Terakhir Pemerintahan Utsman
Setelah melewati masa-masa gemilang, pada masa paruh terakhir kekuasaanya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya. Akan tetapi kekacauan sudah dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi khalifah.
Utsman adalah orang yang baik dan saleh namun dalam banyak hal kurang menguntungkan. Karena Utsman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekah, khususnya kaum Quraisy dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah. Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu persatu kedudukan tinggi di duduki oleh anggota keluarganya.
Ketika Utsman mengangkat Marwan bin Hakam, sepupu khalifah yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi sekertaris utama, segeralah timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing menjadi gubernur Suriah, Irak dan Mesir, sangat tidak disukai oleh masyarakat umum di tambah lagi tuduhan-tuduhan bahwa kerabat khalifah mendapat harta pribadi dengan mengorbankan harta umum dan tanah negara. Hakam, ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan sendiri menyalah gunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah Negara Suriah dan khalifah mengizinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang.
Situasi politik semakin mencekam bahkan berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan yang kuat untuk kemaslahatan umat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Pemushafan Al-Qur’an misalnya, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kesimpangsiuran bacaan Al-Qur’an sehingga perselisihan mengenai Al-Qur’an dapat dihindari. Tetapi lawan-lawannya Utsman menuduh bahwa Utsman sama sekali tidak memiliki otoritas  untuk menerapkan edisi Al-Qur’an yang di bukukan itu. Dengan kata lain, mereka mendakwa Utsman secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan agama yang tidak di milikinya.
Terhadap berbagai kecaman tersebut, Utsman telah berupaya untuk membela diri dan melakukan tindakan politisi sebatas kemampuannya. Tentang pemborosan uang misalnya, Utsman menepis keras tuduhan keji ini. Memeng benar dia membantu saudara-saudaranya dari bani Umayyah, tetapi itu diambil dari kekayaan pribadinya bukan dari kas Negara bahkan Utsman tidak mengambil gajinya yang menjadi haknya. pada saat menjadi khalifah Utsman jatuh miskin. Karena hartanya digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya digunakan untuk mengurusi permasalahan kaum muslimin, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengumpulkan harta seperti sebelum menjadi khalifah.
Dalam hal ini Utsman berkata: “pada saat pencapaianku menjadi khalifah, aku adalah pemilik unta dan kambing terbanyak di Arab. Hari ini aku tidak memiliki unta dan kambing kecuali yang digunakan dalam ibadah haji. Terhadap penyokong, Aku memberikan kepada mereka apa pun yang dapat aku berikan dari milikku pribadi. Tentang kekeayaan Negara, aku menganggapnya tidak halal, baik bagi diriku sendiri maupun bagi orang lain. Aku tidak mengambil apa pun dari kekayaan Negara, apa yang aku makan adalah hasil nafasku sendiri.
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Di Kufah dan Basrah, yang dikuasai oleh Thalhah dan Zubair, rakyat bangkit menentang gubernur yang di angkat oleh khalifah. Hasutan yang lebih keras terjadi di mesir, selain ketidaksetiaan rakyat terhadap Abdullah bin Sa’ad, saudara angkat khalifah, sebagai pengganti gubernur ‘Amr bin Ash juga karena konflik sosial pembagian ghanimah. Pemberontak berhasil mengusir gubernur yang diangkat khalifah, mereka yang terdiri dari 600 orang mesir itu menuju ke madinah. Para pemberontak dari Kufa dan Basrah bertemu dan bergabung dengan kelompok mesir. Wakil-wakil mereka menuntut khalifah untuk mendengarkan keluhan mereka. Khalifah menuruti kemauan mereka dengan mengangkat  Muhammad bin Abu Bakar menjadi gubernur di Mesir. Dam merekapun puas terhadap kebijaksanaan khalifah dan mereka ulang  kenegri masing-masing. Tetapi ditengah perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat tersebut ditulis oleh Marwan bin Hakam, sekertaris khalifah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan jalan damai, tetapi mereka tidak dapat menerimanya. Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika Khalifah Utsman sedang membaca Al-Qur’an, pada tahun 35 H/17 juni 656 M. menurut Lewis, pusat oposisi sebenarnya adalah di Madinah sendiri. Di Madinah Thalhah, Zubair dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia melawan khalifah, dengan memanfaatkan para pemberontak yang dating ke Madinah untuk melampiaskan rasa dendamnya yang meluap-luap itu.
Menurut Ahmad Al-Usairy dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam, salah satu faktor yang menyebabkan pemberontakan dan pembangkangan adalah berkobarnya fitnah besar di tengah kaum muslimin yang di kobarkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang yahudi asal yaman yang berpura-pura masuk islam. Orang ini telah berkeliling ke berbagai kota kemudian menetap di Mesir. Kemudian dia menaburkan keraguan di tengah manusia tentang akidah mereka dan mengecam Utsman dan para gubernurnya. Dia dengan gencar mengajak semua orang untuk menurunkan Utsman dan para gubernurnya. Dengan gencarnya dia mengajak semua orang untuk menurunkan Utsman dan menggantinya dengan Ali sebagai usaha menaburkan fitnah dan perpecahan.
Mulailah pecah fitnah di Kufah pada tahun 34 H/ 654 M. mereka mulai menuntut kepada khalifah untuk menggati gubernur kufah. Akhirnya Utsman menggantinya untuk memenuhu tuntutan mereka dan sebagai uapya untuk meredam fitnahyang lebih besar. Setelah itu ada sejumlah besar manusia yang datang dari kufah, basrah, dan mesir untuk mendebat khalifah. Ali mencegah mereka dan menerangkan apa yang mereka lakukan adalah kesalahan besar. Dan khalifah melakukan pembelaan yang masuk akal. Maka pulanglah mereka dengan tangan hampa.
Abdullah bin Saba’ paham bahwa kesematanya yang telah ia bangun selama bertahun-tahun akan lenyap begitu saja. Maka ia mencari siasat licik dan mengatur strategi. Dia membuat surat palsu atas nama khalifah akan mengundurkan diri dan Ali akan naik. Disebutkan bahwa siapa saja yang tidak setuju akan dibunuh.

B.     Ali bin Abi Thalib
a.      Biografi
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib adalah sepupu Rasullah SAW. Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW. Rasulullah mengawinkan Ali dengan putrinya yang bernama Fatimah. Ali adalah salah satu dari sepuluh orang yang memperoleh jaminan masuk surga dari rasulullah SAW. Ali ikut dengan Rasulullah SAW sejak bahaya kelaparan mengancam kota mekah, ia masuk islam pada usia sangat muda. Menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ali menemani Rasulullah dalam perjuangan menegakkan islam di mekah dan di madinah. Kerena Ali sibuk merawat dan memakamkan jenazah Rasulullah SAW ia tidak sempat ikut membaiat Abu Bakar sebagai Kholifah, tetapi ia membaiat setelah Fatimah wafat.
Ali adalah orang yang pandai memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal sebagai seorang orator. Ia juga seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga ia menjadi penasehat pada zaman khalifah Abu bakar, Umar, dan Utsman.


b.      Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
 Setelah wafatnya utsman bin Affan karena di bunuh, stabilitas keamanan kota menjadi rawan. Gafiqy bin harb memegang keamanan kota kira-kira selama lima hari sampai terpilihnya Khaliah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman, menerima baiat dari sejumlah kaum musim.
 Proses pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.

c.       Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Tugas pertama yang dilakukan oleh khlifah Ali adalah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, yakni menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah di bagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan Negara. Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak di senangi oleh rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan  Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur Mesir yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Suriah dan Muawiyah juga di menta untuk meletakkan jabatannya, tetapi ia menolak perintah Ali bahkan tidak mengakui kekhalifahannya.
Oposisi terhadap Khalifah secara terang-terangan dilakukan oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alas an pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebagai dalang terbunuhnya Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan Ali. Pertama, karena tugas pertama yang mendesak dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kependudukkan kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara yang mudah, khalifah Utsman tidak dibunuh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari mesir, irak, dan arab secara langsung terlibat dalam perbuatan tersebut.

1.      Perang Jamal (36 H/656 M)
Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam, tidak membaiat Ali sebagai khalifah. Dia menuntut darah Utsman pada Ali. Sedangkan ali tidak menjadikan masalah ini sebagai perioritas karena kondisinya yang sangat labil. Oleh karenanya orang syam taat pada kekhalifahan Ali dan Muawiyah menyatakan memisahkan diri dari kekhalifahannya. Berangkatlah Ali dengan pasukannya dari kufa, dia telah memindahkan pemerintahan dari madinah ke kufah.
Pada saat itu juga Aisyah bersama Zubair dan Thalhah serta kaum mulimin dari mekah juga menuju bashrah untuk menetap di sana. Merka berhasil menguasai bashrah dan menangkap para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat kebeberapa wilayah untuk melakukan hal yang sama. Ali pun mengubah rute perjalanannya dari Syam ke bashrah. Ali mengirimkan beberapa utusan ke pada Aisyah dan menerangkan dampak negatif dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas dengan apa yang dikatakan Ali dan mereka kembali ke base pasukan untuk kesepakatan damai.
Kedua belah pihak hamper saja melakukan kesepakatan damai. Namun Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya yana menyimpang mereka ketakutan dan mereka melihat pertempuran harus terjadi. Kembali mereka berhasil mengobarkan api perang di antara kedua pasukan Islam. Terjadilah peperangan ini, pertempuran ini terjadi di depan unta yang membawa tandu Aisyah. Sehingga perang ini di sebut Perang Jamal (perang unta) yang terjadi pada tahun 36 H. dalam pertempuran ini pasukan Bashrah kalah.  Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah di kembalikan ke Madinah. Dalam peperangan ini banyak kaum muslimin yang terbunuh. Sebagian sejarawan menyebutkan ada sekitar 10.000 yang terbunuh. Ada sejarawa yang lain menyebutkan sebanyak 20.000 kaum mislimin gugur. Maka sejak itu Bashrah masuk secara penuh dalam pemeritahan ali.
Perang unta ini menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam, karena peristiwa itu melibatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk pertama kalinya seorang khalifah turun kemedan perang untuk memimpin langsung angkatan peranag, dan justru bertikai melawan saudara sesame muslim.

2.      Perang Shifin (wilayah sebelah timur syam) 37 H/657 M
Perang ini terjadi antara Ali dan Muawiyah. Delegasi yang diutus antara Ali dan Muawiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa. sehingga akhirnya kedunya menempatkan pasukannya di kota tua Shiffin, dekat sunagi eufrat, pada tahun37 H. khalifah ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebenarnya pasukan Muawiyah sudah terdesak kalah, dengan 7.000 pasukan terbunuh. Hampir saja Ali memenangkan peperangan ini.
Pada saat situasi tersebut pasukan syam dan Muawiyah mengangkat mushaf-mushaf dan meminta agar bertahkim dengan kitab Allah. Siasat ini di lakukan oleh ‘Amr bin Ash, panglima pasukan Muawiyah, untuk menghentikan perang. Siasat ini ternyata berhasil dan peperangan segera berhenti. Dari kedua belah pihak bertemu dan berunding, namun keduanya tidak sampai pada kata sepakat. Maka, ditulislah lembaran keputusan. Setelah itu kedua pasukan kembali ke negri masing-masing.

3.      Tahkim Shiffin
Konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan di akhiri dengan tahkim.  Dari pihak khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah Diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Siffin yang di akhiri melalui tahkim (arbitrase), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil. Namun tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang maker itu mempunyai kedudukan yang sama atau setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan lahir golongan Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali, yang kira-kira berjumlah 12.000 orang.

4.      Perpecahan Umat (Syi’ah, Khawarij, dan Pendukung Muawiyah)
Setelah Ali menerima tahkim dari pihak Muawiyah, namun tahkim ini tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebakan umat islam terpecah menjadi 3 golongan yaitu: Syi’ah (pengikut Ali), Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali), dan Muawiyah. Orang Khawarij dulunya adalah pasukan yang berada pada pihak Ali. Mereka malah melakukan pemberontakan kepada Ali setelah terjadinya arbiterasi dan mencopotannya dari kekuasaan dengan alasan bawa ia menerima tahkim.
Sebagai oposisi kekuasaan yang ada, khawarij mengeluarkan beberapa statemen yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai orang-orang kafir. Khawarij berpendapat bahwa Utsman bin Affan telah menyeleweng dari agama islam. Demikian pula dengan Ali bin Abi Thalib juga telah menyeleweng dari agam islam karena melakukan tahkim. Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib dalam pandangan khawarij, yaitu murtad dan telah kafir. Politisi yang lain yang di anggap kafir oleh khawari adalah Muawiyah, Ame bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan semua orang yang menerima tahkim.
Khawarij tampak tidak berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam jalur atau wilayah teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagamaan umat Islam. Khawarij di anggap keluar dari jalur politik karena menilai kafir terhadap orang-orang yang ikut dan menerima tahkim. Menurut Harun Nasution, bukan wilayah politik tetapi wilayah kalam atau teologi.
Ali memiliki pendukung yang sangat fanatic dansetia kepadanya. Dengan adnya oposisi terhadap pemerintahan Ali, kesetiaan mereka malah semakin bertambah, apalagi setelah Ali bin Abi Thalib wafat. Mereka yang fanatic terhadap Ali bin Abi Thalaib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah.
Kelompok khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepoykan khalifah Ali, sehingga member kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat dan memperluaskan kekuasaannya sampai mampu merebut mesir. Akibatnya sungguh sangat fatal bagi Ali. Tentara semakin lemah, sementara Muawiyah semakin kuat dan bertambah besar. Keberhasilan Muawiyah mengambil provinsi mesir, berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali. Kerena kekuatan Ali telah banyak menurun, terpaksalah Ali menyetujui perjanjian damai dengan muawiyah, yang secara politis berate khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir.

5.      Terbunuhnya Ali
Penyelesaian kompromi Ali dengan Muawiyah tidak disukai oleh kaum perusuh. Kaum khawarij merencanakan untuk membunuh Ali. Muawiyah dan Amar memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka, yang bebas dipilih dari seluruh umat Islam. Karena itu Adurrahman pengikut setia kaum khawarij, memberikan pukulan yang hebat kepada Ali sewaktu dia akan Adzan di masjid. Pukulan itu fatal, dan khalifah wafat pada tanggal 17 ramadhan 40 H.
Dalam kisah yang lain, bahwa kematian khalifah Ali diakibatkan oleh pukulan pedang beracun yang di lakukan oleh Abdurahman bin Muljam, sebagaimana dijelaskan Philip k. hatty bahwa:
Pada 24 januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid Kufah, ia terkena hantaman pedang beracum di dahinya. Pedang yang mengenai otaknya tersebut diayunkan oleh pengikut khawarij, Abd Ar-Rahman bin Muljam, yang ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh di Nahrawan. Tempat terkecil didekat kufah yang menjadi makam Ali.

d.        Pengangkatan Hasan bin Ali bin Abu Thalib dan ‘Aml Jama’ah
Setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, rakyat segera membaiat Hasan bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah sebagai pengganti ayahnya. Tapi ada yang mengatakan bahwa hasan sebagai anak yang paling tua mengambil alih kedudukan ayahnya. Dia berkuasa hanya dalam jangka waktu 5-6 bulan. Pada saat pemerintahannya dia melihat banyak perselisihan di antara sahabat-sahabatnya dan melihat pentingnya persatuan umat.
Tentara Hasan dikalahkan oleh pasukan Syiria, dan para pendukungnya di Irak meninggalkannya sehingga tidak dapat lebih lama lagi mempertahankan kekuasaannya. Kemudian turun tahta. Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah sebagi penguasa yang absolute dalam wilayah kerajaan Arab. Pada bulan Rabi’uts tsani tahun 41 H (661 M) Muawiyah memasuki kota Kufah yang oleh Ali dipilih sebagai pusatkekuasaannya. Sumpah kesetiaan di ucapkan kepadanya di hadapan dua putra Ali, Hasan dan Husain. Rakyat berkerumun di sekelilingnya sehingga pada tahun 41 H disebut sebagai tahun ‘amul jama’ah tahun jama’ah. Dalam riwayat yang lain mengatakn bahwa Hasan melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan pemerintahan kepada Muawiyah pada bulan Rabingul Awwaltahun 41 H/661 M. tahun ini sering disebut sebagai ‘Amul Jama’ah (tahun jama’ah) karena umat Islam sepakat menjadikan satu orang khalifah untuk menjadi pemimpin mereka.


PENUTUP

Kesimpulan

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa proses pengangkatan khalifah Utsman bin Afan dan Ali bin Abi Thalib berbeda. Jika Utsman bin Afan melalui pembentukan tim formatur yang dibentuk oleh pendahulunya, yaitu khalifah Umar ibn Khatab. Sedangkan proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dilakukan dengan cara dibaiat oleh umat Islam secara langsung.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh khalifah Utsman bin Affan dimulai dengan perluasan wilayah Islam, perluasan masjidil haran dan nabawi, penyeragaman penulisan mushaf al-Quran. Akan tetapi karena kebijakan yang diambilnya cenderung mengedepankan keluarga, maka khalifah Utsman pada akhirnya tidak didukung masyarakat, dan berakhir tragis, yakni wafat dengan jalan dibunuh.
Adapun pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak ada kebijakan khalifah yang strategis, hal ini disebabkan pada masa pemerintahannya tidak ada sedikitpun masa pemerintahan yang stabil. Sehingga menimbulkan peperangan, seperti perang jamal dan perang shiffin. Perpecahan umat menjadi tiga yaitu: Syi’ah, Khawarij, dan Muawiyah. Khalifah Ali pun berakhir dengan tragis ia wafat dengan cara dibunuh oleh kelompok khowarij ketika sedang melaksanakan shalat subuh.


Daftar Pustaka

Al-‘Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarata: akbar media. 2011
Amin, Syamsul Munir. Sejarah peradaban Islam. Jakarta: Amzah. 2010
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2008
Yatim, Badri. Sejarah peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 1998

hadits menyebarluaskan salam


Hadits salam
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ، أَخْبَرَنَا مَخْلَدٌ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ:
أَخْبَرَنِي زِيَادٌ، أَنَّهُ سَمِعَ ثَابِتًا، مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى المَاشِي، وَالمَاشِي عَلَى القَاعِدِ، وَالقَلِيلُ عَلَى الكَثِيرِ

Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Salam telah mengabarkan kepada kami Makhlad telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ziyad bahwa dia mendengar Tsabit bekas budak Abdurrahman bin Zaid, bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hendaknya orang yang berkendara memberi salam kepada yang berjalan, dan yang berjalan memberi salam kepada yang duduk dan (rombongan) yang sedikit kepada (rombongan) yang banyak."
    
 MENYEBARLUASKAN SALAM
2.3.1   TERJEMAHAN HADIS:
عن عبدالله بن سلام قال:قال رسولله رسول الله صلى الله عليه وسلم: ياايهاالناس,: افشوالسلام وصلواالارحام واطعمواالطعام وصلوابااليل واناس نيام تدخلوالجنة بسلام. (أخرجه الترمذى وصححه)
   
 “Dari Abdullah bin Salam ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW; “Hai manusia, siarkanlah salam dan hubungan keluarga-keluarga dan berilah makan dan shalatlah pada malam ketika manusia tidur, niscaya kamu masuk syurga dengan sejahtera.
(Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan ia shahihkannya)

2.3.2        PENJELASAN HADIS:
     Hadits tersebut mengandung beberapa pokok bahasan, yaitu:
a.             Menyebarkan salam
Salam merupakan salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antara sesama muslim setiap kali bertemu. Mengucapkan salam menurut kesepakatan ulama, hukumnya adalah sunat mu’akkad. Firman Allah SWT di dalam Al-Quran:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا.
Artinya:
“Apabila ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu,balaslah hormat (salamnya) itu dengan cara yang lebih baik, atau balas penghormatan itu (serupa dengan penghormatannya). Sesungguhnya Tuhan itu menghitung segala sesuatu.  (Q.S. An-Nisa’: 86)
Mengucapkan salam tidak hanya disunnahkan ketika berjumpa dengan orang yang dikenal sahaja, tetapi juga ketika bertemu dengan orang yang tidak dikenali. Sebagaimana dinyatakan di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Artinya:
“Abdullah Ibn Umar berkata, bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Islam seperti apakah yang paling baik? Nabi menjawab, “Memberi makan dan mengucapkan salam, baik kepada yang kamu kenal maupun kepada orang yang tidak kamu kenal." (H.R. Bukhari dan Muslim)
            Dalam hadis lain juga diterangkan tentan sesiapa yang pertama kali harus mengucapkan salam, yaitu orang yang di dalam kenderaan kepada yangberjalankaki, orang yang berjalan kepada yang duduk, kelompok yang sedikit kepada yang ramai. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadis:
عن عبدالله بن عمر رضي الله عنه أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم اطعام وتقرءالسلام على من عرفت ومن لم تعرف
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda, orang yang berkenderaan memberi salam kepada yang berjalan, dan berjalan memberi salam kepada orang yang duduk, dan rombongan yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Bukhari: “dan yang kecil memberi salam kepada yang besar.”
          Salam juga disunnahkan diucapkan dalam berbagai situasi, misalnya ketika hendak masuk ke rumah orang lain. Sebagaimana fiman Allah SWT:

فَإِذَا دَخَلۡتُم بُيُوتً۬ا فَسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ تَحِيَّةً۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُبَـٰرَڪَةً۬ طَيِّبَةً۬‌ۚ ڪَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمُ ٱلۡأَيَـٰتِ لَعَلَّڪُمۡ تَعۡقِلُونَ

Artinya: “Maka apabila kamu memasuki [suatu rumah dari] rumah-rumah [ini] hendaklah kamu memberi salam kepada [penghuninya yang berarti memberi salam] kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat [Nya] bagimu, agar kamu memahaminya.”(61)                                                                           (Q.S. An-Nur: 61)
Begitu juga ketika meninggalkan suatu tempat atau rumah, disunnahkan untuk mengucapkan salam. Sabda Rasulullah SAW:
إذادخلتم بيتا فسلموا على أهله فإذا خرجتم فأودعواأهله بسلام
 (رواه البيهقى)
Artinya : “Apabila seorang di antara kamu masuk ke dalam suatu rumah, maka hendaklah dia mengucapkan salam. Apabila ia lebih dulu berdiri meninggalkan rumah itu, hendaklah ia mengucapkan atau memberi salam pula.” (H.R. Al – Baihaqi)

Bagi permasalahan menjawab salam bagi orang bukan Islam, para ulama berpakat bahawa menjawab salam Ahli Kitab dengan lafaz “wa’alikum”, jika sekiranya Ahli Kitab tersebut memberi salam “al-samu’alaikum” atau ragu dengan apa yang dia katakana. Manakala Ibnu Hajar menyatakan bahawa menjawab salam dzimmi adalah fardhu kerana ayat menjawab salam itu berisi perintah menjawab salam secara umum. Manakala tentang lafaz “assalamu’alaikum”, Ibn Qayyim berkata “menurut dalil-dalil dan kaidah-kaidah syariat, jawaban kepadanya adalah “wa ‘alaika al-salam” kerana ia termasuk sikap yang adil dan Allah juga memerintahkan perbuatan yang baik berdasarkan ayat 86 surah an-Nur. Maka Allah menganjurkan keadilan.”[4].

2.3.3 HIKMAH MENYEBAR SALAM:
1.      Menyemai rasa cinta sesama orang Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a:
ألاأدلكم على ماتحبون به؟ أفشواالسلام بينكم (رواه مسلم)
Artinya : “ Maukah aku tunjukan sesuatu yang dengan itu kamu semua akan saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kamu semua.”  (H.R. Muslim)

“Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, kamu tidak akan masuk syurga sehingga kamu saling mencintai. Mahukah kutunjukkan amalan yang apabila kamu lakukan kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam sesamamu”
(H.R Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah dan sebagainya)[5]
           
2.3.4 ATURAN DALAM MEMBERI SALAM:
     Namun demikian, terdapat beberapa hal yang telah di atur di dalam Islam berkenaan salam, khususnya bagi  hal memberi salam kepada salah seorang ahli rombongan yang ramai ketika saat bertemu dengan rombongan yang ramai tersebut. Sebahagian ulama memakhruhkan perbuatan tersebut. Bagi hal memberi salam menggunakan isyarat, terdapat sebahagian ulama memakhruhkan bahkan ada yang berpendapat hukumnya haram, bik dengan kepala, badan, atau tangan, seperti menundukkan kepala ketika berjumpa dengan orang lain, perbuatan tersebut merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi dalam memberikan salam. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh imam Nasa’I dengan sanad yang jayyid dari Jabir secara marfu’
لا تسلمواتسليم اليهود فإن تسليمهم بالرءوس والأكف.
 (رواه النسائ)
Artinya : “ Janganlah memberkan salam dengan salamnya orang – orang Yahudi karena salam mereka adalah dengan kepala dan telapak tangan. ” (H.R. Muslim)

Namun begitu, isyarat ketika shalat ketika perbuatan mengucapkan salam adalah diperbolehkan.
b.        Menghubungkan kekeluargaan (siaturrahmi)
Apa bila sedang duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong atau sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, di wajibkan menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak mampu, karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, do’akanlah dalam hati supaya orang tersebut menyadari kekeliruan dan kecerobohannya.
c.              Memberi makan kepada fakir miskin
Maksud memebri makan adalah mencakup wajib, yaitu zakat dan yang sunnah, yakni sedekah. Bagi mereka yang memiliki harta yang melimpah harus menyedari bahwa dalam hartanya terdapat harta orang lain, yaitu haknyafakir miskin dan orang-orang yang lemah. Maka hak mereka harus diberikan kerana kelak akan diminta pertanggungjwaban di hadapan Allah SWT.
d.             Shalat malam ketika manusia tidur
Ibadah malam, yakni solat tahajud sangatlah baik dan utama setelah shalat fardhu, bahkan diperintahkan oleh Allah SWT untuk melaksanakannya meskipun tidak wajib. Firman Allah:

وَمِنَ ٱلَّيۡلِ فَتَهَجَّدۡ بِهِۦ نَافِلَةً۬ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبۡعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامً۬ا مَّحۡمُودً۬ا
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadat tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji."    (Q.S. An-Nur: 79)
Hadits larangan berduaan yang bukan mukhrim

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً، قَالَ: اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

Artinya:
Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah bercerita kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji". Maka Beliau bersabda: "Tunaikanlah hajji bersama istrimu".

PENJELASAN HADIS:
Dalam hadist di atas ada dua larangan:
1.     Larangan berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan belum resmi menikah.
2.     Larangan wanita untuk berpergian, kecuali dengan mahramnya.
          
Larangan pertama, para ulama telah sepakat bahwa perbuatan seperti itu haram hukumnya, tanpa pengecualian. Dalam hadist lain di tambahkan bahwa kalau laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berkumpul, maka yang ketiganya adalah setan, sehingga sangat mungkin mereka melakukan hal-hal yang di larang oleh syara’.
          Jika ada keperluan kepada wanita yang bukan muhrim, Al-Quran telah mengajarkan, yaitu melalui tabir:

وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَـٰعً۬ا فَسۡـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ۬ۚ ذَٲلِڪُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ
Artiya: “Apabila kamu meminta sesuatu [keperluan] kepada mereka [isteri-isteri Nabi], maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (53)                                                     (Q.S, Al-Ahzab: 53)
      
          Larangan yang di maksud tersebut sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan jenis demi menghindari fitnah. Oleh karena itu, larangan islam, tidak semata-mata untuk  membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah di tetapkan oleh agama dan yang telah di sepakati oleh masyarakat.
          Adapun larangan yang kedua, tentang wanita yang berpergian tanpa mahram, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya mutlak. Dengan demikian, perjalanan apa saja, baik yang dekat maupun jauh, harus di sertai mahram. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan perjalanan tersebut adalah perjalan jauh yang memerlukan waktu minimal dua hari. Ada pula yang berpendapat bahwa larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang masih muda saja, sedangkan bagi wanita yang sudah tua di perbolehkan, dan masih banyak pendapat yang lainnya.
          Sebenarnya, kalu dikaji secara mendalam, larangan wanita mengadakan safar adalah sangat kondisional. Seandainya wanita tersebut dapat menjaga diri dan diyakini tidak akan menjadi apa-apa, serta merasa bahwa ia akan merepotkan mahramnya setiap kali akan pergi, maka perjalanan di bolehkan, misalnya pergi untuk kuliah , kantor dan lain-lainyang memang sudah biasa di lakukan setiap hari, apalagi kalau kantor atau tempat kuliahnya dekat. Namun demikian, lebih baik ditemani oleh mahramnya, kalu tidak merepotkan dan mengganggunya.
          Dengan demikian, yang menjadi standar adalah kemaslahatan dan keamanan. Begitu pula pergi haji, kalau di perkirakan akan aman, apalagi pada sa’at ini telah ada petugas pembimbing haji yang akan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelancaran para jama’ah haji, maka seorang wanita yang pergi haji, tidak di sertai mahramnya di perbolehkan kalau memang dia sudah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan ibadah haji.
          Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahawa pertemuan lelaki dan perempuan tidaklah haram melainkan jaiz (boleh). Bahkan hal-hal seperti itu dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan yang bermanfaat, amal soleh, kebajikan, perjuangan atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga lelaki maupun perempuan. Namun kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas antara keduanya menjadi lebur dan ikatan syariah dilupakan.[2]



Sopan santun dan adab duduk di jalan

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ ، فَقَالُوا: مَا لَنَا بُدٌّ، إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا المَجَالِسَ، فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا ، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: غَضُّ البَصَرِ، وَكَفُّ الأَذَى، وَرَدُّ السَّلاَمِ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ
Artinya:
            Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadhalah telah menceritakan kepada kami Abu 'Umar Hafsh bin Maisarah dari Zaid bin Aslam dari 'Atha' bin Yasar dari Abu Sa'id AL Khudriy radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian duduk duduk di pinggir jalan". Mereka bertanya: "Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama". Beliau bersabda: "Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut". Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma'ruf nahiy munkar".

PENJELASAN HADIS:
 Rasulullah SAW melarang duduk di pinggir jalan, baik dari tempat duduk yang khususu, seperti di atas kursi, di bawah pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut bukan berarti larangan pada tempat duduknya, yakni bahwa membuat tempat duduk di pinggir jalan itu haram. Terbukti ketika para sahabat merasa keberatan dan berargumen bahwa hanya itulah tempat mereka mengobrol. Rasulallah SAW. Pun membolehkannya dengan syarat mereka harus memenuhu hak jalan yaitu berikut ini.
a.       Menjaga pandangan mata
Menjaga pandangan mata merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, sesuai dengan perintah Allah SWT di dalam Al-Quran:
قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡ‌ۚ ذَٲلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَا‌ۖ
Artinya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (30) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak daripadanya.”(Q.S. an-Nur: 30-31)
      Hal itu tidak mungkin dapat dihindari bagi mereka yang sedang duduk di pinggir jalan. Ini karena akan banyak sekali orang yang lewat, dari berbagai usia dan berbagai tipe. Maka bagi para lelaki janganlah memandang dengan sengaja kepada para wanita yang bukan muhrim dengan pandangan syahwat. Begitu pula, tidak boleh memandang dengan pandangan sinis atau iri kepada siapa saja yang lewat. Pandanganm seperti ini tidak hanya akan melanggar aturan Islam, tetapai akan mninimbulkan kecurigaan, persengketaan dan kemarahan dari oaring yang di pandangnya, apalagi bagi mereka yang mudah tersinggung. Oleh karena itu, mereka yang sedang duduk di pinggir jalan harus betul-betul menjaga pandangannya.
b.      Tidak Menyakiti
         Tidak boleh menyakiti orang-orang yang lewat, dengan lisan, tangan, kaki, dan lain-lain. Dengan lisan misalnya mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan tangan misalnya melempar dengan batu-batu kecil atau benda apa saja yang akan menyebabkan orang lewat sakit dan tersinggung; tidak memercikkan air, dan lain-lain yang akan menyakiti orang yamg lewat atau ,menyiggung perasaannya.
c.       Menjawab salam
Menjawab salam hukumnya adalah wajib meskipun mengucapkannya sunnah. Oleh karena itu, jika ada yang mengucapkan salam ketika duduk di jalan, hokum menjawabnya adalah wajib. Untuk lebih jelas tentang salam ini, akan di bahas di bawah.
d.      Memerintah kepada kebaikan dan melarang kemunkaran
Apabila sedang duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong atau sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, di wajibkan menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak mampu, karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, do’akanlah dalam hati supaya orang tersebut menyadari kekeliruan dan kecerobohannya