Hadits
salam
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ، أَخْبَرَنَا مَخْلَدٌ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ،
قَالَ:
أَخْبَرَنِي
زِيَادٌ،
أَنَّهُ
سَمِعَ
ثَابِتًا،
مَوْلَى
عَبْدِ
الرَّحْمَنِ
بْنِ
زَيْدٍ:
أَنَّهُ
سَمِعَ
أَبَا
هُرَيْرَةَ،
يَقُولُ:
قَالَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ:
يُسَلِّمُ
الرَّاكِبُ
عَلَى
المَاشِي،
وَالمَاشِي
عَلَى
القَاعِدِ،
وَالقَلِيلُ
عَلَى
الكَثِيرِ
Artinya:
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Salam telah mengabarkan kepada kami Makhlad
telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dia berkata; telah mengabarkan
kepadaku Ziyad bahwa dia mendengar Tsabit bekas budak Abdurrahman bin Zaid,
bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Hendaknya orang yang berkendara memberi salam kepada
yang berjalan, dan yang berjalan memberi salam kepada yang duduk dan
(rombongan) yang sedikit kepada (rombongan) yang banyak."
MENYEBARLUASKAN
SALAM
2.3.1 TERJEMAHAN HADIS:
عن
عبدالله بن سلام قال:قال رسولله رسول الله صلى الله عليه وسلم: ياايهاالناس,:
افشوالسلام وصلواالارحام واطعمواالطعام وصلوابااليل واناس نيام تدخلوالجنة بسلام. (أخرجه الترمذى وصححه)
“Dari Abdullah bin Salam ia berkata, telah
bersabda Rasulullah SAW; “Hai manusia, siarkanlah salam dan hubungan
keluarga-keluarga dan berilah makan dan shalatlah pada malam ketika manusia
tidur, niscaya kamu masuk syurga dengan sejahtera.
(Dikeluarkan
oleh Tirmidzi dan ia shahihkannya)
2.3.2 PENJELASAN HADIS:
Hadits tersebut mengandung beberapa pokok
bahasan, yaitu:
a. Menyebarkan salam
Salam
merupakan salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antara
sesama muslim setiap kali bertemu. Mengucapkan salam menurut kesepakatan ulama,
hukumnya adalah sunat mu’akkad. Firman Allah SWT di dalam Al-Quran:
وَإِذَا
حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا.
Artinya:
“Apabila
ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu,balaslah hormat (salamnya) itu
dengan cara yang lebih baik, atau balas penghormatan itu (serupa dengan
penghormatannya). Sesungguhnya Tuhan itu menghitung segala sesuatu. (Q.S. An-Nisa’: 86)
Mengucapkan
salam tidak hanya disunnahkan ketika berjumpa dengan orang yang dikenal sahaja,
tetapi juga ketika bertemu dengan orang yang tidak dikenali. Sebagaimana
dinyatakan di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Artinya:
“Abdullah
Ibn Umar berkata, bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasulullah SAW,
“Islam seperti apakah yang paling baik? Nabi menjawab, “Memberi makan dan
mengucapkan salam, baik kepada yang kamu kenal maupun kepada orang yang tidak
kamu kenal." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis lain juga diterangkan
tentan sesiapa yang pertama kali harus mengucapkan salam, yaitu orang yang di
dalam kenderaan kepada yangberjalankaki, orang yang berjalan kepada yang duduk,
kelompok yang sedikit kepada yang ramai. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam
hadis:
عن
عبدالله بن عمر رضي الله عنه أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم: أي الاسلام
خير؟ قال: تطعم اطعام وتقرءالسلام على من عرفت ومن لم تعرف
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
“Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda, orang yang berkenderaan
memberi salam kepada yang berjalan, dan berjalan memberi salam kepada orang
yang duduk, dan rombongan yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.”
(H.R.Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat Bukhari: “dan yang kecil memberi salam kepada yang besar.”
Salam juga disunnahkan diucapkan dalam
berbagai situasi, misalnya ketika hendak masuk ke rumah orang lain. Sebagaimana
fiman Allah SWT:
فَإِذَا
دَخَلۡتُم بُيُوتً۬ا فَسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ تَحِيَّةً۬ مِّنۡ عِندِ
ٱللَّهِ مُبَـٰرَڪَةً۬ طَيِّبَةً۬ۚ ڪَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمُ
ٱلۡأَيَـٰتِ لَعَلَّڪُمۡ تَعۡقِلُونَ
Artinya:
“Maka apabila kamu memasuki [suatu rumah dari] rumah-rumah [ini] hendaklah kamu
memberi salam kepada [penghuninya yang berarti memberi salam] kepada dirimu
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat [Nya] bagimu, agar kamu
memahaminya.”(61)
(Q.S. An-Nur: 61)
Begitu
juga ketika meninggalkan suatu tempat atau rumah, disunnahkan untuk mengucapkan
salam. Sabda Rasulullah SAW:
إذادخلتم
بيتا فسلموا على أهله فإذا خرجتم فأودعواأهله بسلام
(رواه البيهقى)
Artinya
: “Apabila seorang di antara kamu masuk ke dalam suatu rumah, maka hendaklah
dia mengucapkan salam. Apabila ia lebih dulu berdiri meninggalkan rumah itu,
hendaklah ia mengucapkan atau memberi salam pula.” (H.R. Al – Baihaqi)
Bagi
permasalahan menjawab salam bagi orang bukan Islam, para ulama berpakat bahawa
menjawab salam Ahli Kitab dengan lafaz “wa’alikum”, jika sekiranya Ahli Kitab
tersebut memberi salam “al-samu’alaikum” atau ragu dengan apa yang dia
katakana. Manakala Ibnu Hajar menyatakan bahawa menjawab salam dzimmi adalah
fardhu kerana ayat menjawab salam itu berisi perintah menjawab salam secara
umum. Manakala tentang lafaz “assalamu’alaikum”, Ibn Qayyim berkata “menurut
dalil-dalil dan kaidah-kaidah syariat, jawaban kepadanya adalah “wa ‘alaika
al-salam” kerana ia termasuk sikap yang adil dan Allah juga memerintahkan
perbuatan yang baik berdasarkan ayat 86 surah an-Nur. Maka Allah menganjurkan
keadilan.”[4].
2.3.3
HIKMAH MENYEBAR SALAM:
1. Menyemai rasa cinta sesama orang Islam,
seperti yang dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Hurairah r.a:
ألاأدلكم
على ماتحبون به؟ أفشواالسلام بينكم (رواه مسلم)
Artinya
: “ Maukah aku tunjukan sesuatu yang dengan itu kamu semua akan saling
mencintai? Sebarkanlah salam diantara kamu semua.” (H.R. Muslim)
“Demi
Allah yang jiwaku berada di tanganNya, kamu tidak akan masuk syurga sehingga
kamu saling mencintai. Mahukah kutunjukkan amalan yang apabila kamu lakukan
kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam sesamamu”
(H.R
Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah dan sebagainya)[5]
2.3.4
ATURAN DALAM MEMBERI SALAM:
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang
telah di atur di dalam Islam berkenaan salam, khususnya bagi hal memberi salam kepada salah seorang ahli
rombongan yang ramai ketika saat bertemu dengan rombongan yang ramai tersebut.
Sebahagian ulama memakhruhkan perbuatan tersebut. Bagi hal memberi salam
menggunakan isyarat, terdapat sebahagian ulama memakhruhkan bahkan ada yang
berpendapat hukumnya haram, bik dengan kepala, badan, atau tangan, seperti
menundukkan kepala ketika berjumpa dengan orang lain, perbuatan tersebut
merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi dalam memberikan salam. Seperti hadis
yang diriwayatkan oleh imam Nasa’I dengan sanad yang jayyid dari Jabir secara
marfu’
لا
تسلمواتسليم اليهود فإن تسليمهم بالرءوس والأكف.
(رواه النسائ)
Artinya
: “ Janganlah memberkan salam dengan salamnya orang – orang Yahudi karena salam
mereka adalah dengan kepala dan telapak tangan. ” (H.R. Muslim)
Namun
begitu, isyarat ketika shalat ketika perbuatan mengucapkan salam adalah
diperbolehkan.
b. Menghubungkan kekeluargaan
(siaturrahmi)
Apa bila
sedang duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong
atau sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, di
wajibkan menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak
mampu, karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, do’akanlah dalam hati supaya
orang tersebut menyadari kekeliruan dan kecerobohannya.
c. Memberi makan kepada fakir miskin
Maksud
memebri makan adalah mencakup wajib, yaitu zakat dan yang sunnah, yakni
sedekah. Bagi mereka yang memiliki harta yang melimpah harus menyedari bahwa
dalam hartanya terdapat harta orang lain, yaitu haknyafakir miskin dan
orang-orang yang lemah. Maka hak mereka harus diberikan kerana kelak akan
diminta pertanggungjwaban di hadapan Allah SWT.
d. Shalat malam ketika manusia tidur
Ibadah
malam, yakni solat tahajud sangatlah baik dan utama setelah shalat fardhu,
bahkan diperintahkan oleh Allah SWT untuk melaksanakannya meskipun tidak wajib.
Firman Allah:
وَمِنَ
ٱلَّيۡلِ فَتَهَجَّدۡ بِهِۦ نَافِلَةً۬ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبۡعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَامً۬ا مَّحۡمُودً۬ا
“Dan
pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadat
tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (Q.S. An-Nur: 79)
Hadits
larangan berduaan yang bukan mukhrim
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ
بْنُ
سَعِيدٍ،
حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ،
عَنْ
عَمْرٍو،
عَنْ
أَبِي
مَعْبَدٍ،
عَنِ
ابْنِ
عَبَّاسٍ
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُمَا،
أَنَّهُ:
سَمِعَ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ،
يَقُولُ:
لاَ
يَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ،
وَلاَ
تُسَافِرَنَّ
امْرَأَةٌ
إِلَّا
وَمَعَهَا
مَحْرَمٌ
،
فَقَامَ
رَجُلٌ
فَقَالَ:
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ،
اكْتُتِبْتُ
فِي
غَزْوَةِ
كَذَا
وَكَذَا،
وَخَرَجَتِ
امْرَأَتِي
حَاجَّةً،
قَالَ:
اذْهَبْ
فَحُجَّ
مَعَ
امْرَأَتِكَ
Artinya:
Telah
bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah bercerita kepada kami Sufyan
dari 'Amru dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa dia
mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah sekali-kali
seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah
sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Lalu ada
seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku
telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku
pergi menunaikan hajji". Maka Beliau bersabda: "Tunaikanlah hajji
bersama istrimu".
PENJELASAN
HADIS:
Dalam
hadist di atas ada dua larangan:
1. Larangan berdua-duaan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram dan belum resmi menikah.
2. Larangan wanita untuk berpergian, kecuali
dengan mahramnya.
Larangan
pertama, para ulama telah sepakat bahwa perbuatan seperti itu haram hukumnya,
tanpa pengecualian. Dalam hadist lain di tambahkan bahwa kalau laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram berkumpul, maka yang ketiganya adalah setan,
sehingga sangat mungkin mereka melakukan hal-hal yang di larang oleh syara’.
Jika ada keperluan kepada wanita yang
bukan muhrim, Al-Quran telah mengajarkan, yaitu melalui tabir:
وَإِذَا
سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَـٰعً۬ا فَسۡـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ۬ۚ ذَٲلِڪُمۡ
أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ
Artiya:
“Apabila kamu meminta sesuatu [keperluan] kepada mereka [isteri-isteri Nabi],
maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka.” (53)
(Q.S, Al-Ahzab: 53)
Larangan yang di maksud tersebut
sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan jenis demi menghindari fitnah.
Oleh karena itu, larangan islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu
yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan
salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan
perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak melanggar
norma-norma hukum yang telah di tetapkan oleh agama dan yang telah di sepakati
oleh masyarakat.
Adapun larangan yang kedua, tentang
wanita yang berpergian tanpa mahram, terjadi perbedaan pendapat di antara para
ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya mutlak. Dengan
demikian, perjalanan apa saja, baik yang dekat maupun jauh, harus di sertai
mahram. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan perjalanan tersebut adalah
perjalan jauh yang memerlukan waktu minimal dua hari. Ada pula yang berpendapat
bahwa larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang masih muda saja, sedangkan
bagi wanita yang sudah tua di perbolehkan, dan masih banyak pendapat yang
lainnya.
Sebenarnya, kalu dikaji secara
mendalam, larangan wanita mengadakan safar adalah sangat kondisional.
Seandainya wanita tersebut dapat menjaga diri dan diyakini tidak akan menjadi
apa-apa, serta merasa bahwa ia akan merepotkan mahramnya setiap kali akan
pergi, maka perjalanan di bolehkan, misalnya pergi untuk kuliah , kantor dan
lain-lainyang memang sudah biasa di lakukan setiap hari, apalagi kalau kantor
atau tempat kuliahnya dekat. Namun demikian, lebih baik ditemani oleh
mahramnya, kalu tidak merepotkan dan mengganggunya.
Dengan demikian, yang menjadi standar
adalah kemaslahatan dan keamanan. Begitu pula pergi haji, kalau di perkirakan
akan aman, apalagi pada sa’at ini telah ada petugas pembimbing haji yang akan
bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelancaran para jama’ah haji, maka
seorang wanita yang pergi haji, tidak di sertai mahramnya di perbolehkan kalau
memang dia sudah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan ibadah haji.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahawa
pertemuan lelaki dan perempuan tidaklah haram melainkan jaiz (boleh). Bahkan
hal-hal seperti itu dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam
urusan yang bermanfaat, amal soleh, kebajikan, perjuangan atau lain-lain yang
memerlukan banyak tenaga lelaki maupun perempuan. Namun kebolehan itu tidak
berarti bahwa batas-batas antara keduanya menjadi lebur dan ikatan syariah
dilupakan.[2]
Sopan
santun dan adab duduk di jalan
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ ، فَقَالُوا: مَا لَنَا بُدٌّ، إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا المَجَالِسَ، فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا ، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: غَضُّ البَصَرِ، وَكَفُّ الأَذَى، وَرَدُّ السَّلاَمِ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami
Mu'adz bin Fadhalah telah menceritakan kepada kami Abu 'Umar Hafsh bin Maisarah
dari Zaid bin Aslam dari 'Atha' bin Yasar dari Abu Sa'id AL Khudriy radliallahu
'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian
duduk duduk di pinggir jalan". Mereka bertanya: "Itu kebiasaan kami
yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami
bercengkrama". Beliau bersabda: "Jika kalian tidak mau meninggalkan
majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut". Mereka bertanya:
"Apa hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan,
menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma'ruf nahiy munkar".
PENJELASAN
HADIS:
Rasulullah SAW melarang duduk di pinggir
jalan, baik dari tempat duduk yang khususu, seperti di atas kursi, di bawah
pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut bukan berarti larangan pada
tempat duduknya, yakni bahwa membuat tempat duduk di pinggir jalan itu haram.
Terbukti ketika para sahabat merasa keberatan dan berargumen bahwa hanya itulah
tempat mereka mengobrol. Rasulallah SAW. Pun membolehkannya dengan syarat
mereka harus memenuhu hak jalan yaitu berikut ini.
a. Menjaga pandangan mata
Menjaga
pandangan mata merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, sesuai dengan
perintah Allah SWT di dalam Al-Quran:
قُل
لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٲلِكَ
أَزۡكَىٰ لَهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ
يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ
Artinya:
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
(30) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak daripadanya.”(Q.S. an-Nur: 30-31)
Hal itu tidak mungkin dapat dihindari
bagi mereka yang sedang duduk di pinggir jalan. Ini karena akan banyak sekali
orang yang lewat, dari berbagai usia dan berbagai tipe. Maka bagi para lelaki
janganlah memandang dengan sengaja kepada para wanita yang bukan muhrim dengan
pandangan syahwat. Begitu pula, tidak boleh memandang dengan pandangan sinis
atau iri kepada siapa saja yang lewat. Pandanganm seperti ini tidak hanya akan
melanggar aturan Islam, tetapai akan mninimbulkan kecurigaan, persengketaan dan
kemarahan dari oaring yang di pandangnya, apalagi bagi mereka yang mudah
tersinggung. Oleh karena itu, mereka yang sedang duduk di pinggir jalan harus
betul-betul menjaga pandangannya.
b. Tidak Menyakiti
Tidak boleh menyakiti orang-orang yang
lewat, dengan lisan, tangan, kaki, dan lain-lain. Dengan lisan misalnya
mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan tangan misalnya melempar dengan
batu-batu kecil atau benda apa saja yang akan menyebabkan orang lewat sakit dan
tersinggung; tidak memercikkan air, dan lain-lain yang akan menyakiti orang
yamg lewat atau ,menyiggung perasaannya.
c. Menjawab salam
Menjawab salam
hukumnya adalah wajib meskipun mengucapkannya sunnah. Oleh karena itu, jika ada
yang mengucapkan salam ketika duduk di jalan, hokum menjawabnya adalah wajib.
Untuk lebih jelas tentang salam ini, akan di bahas di bawah.
d. Memerintah kepada kebaikan dan melarang kemunkaran
Apabila sedang
duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong atau
sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, di wajibkan
menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak mampu,
karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, do’akanlah dalam hati supaya orang
tersebut menyadari kekeliruan dan kecerobohannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar